Jumat, 23 November 2018

TOKOH PEREMPUAN KEI

                                              Foto Ilustrasi Nen Dit Sakmas. Dok. Keiisland Indonesia

Berdasarkan penuturan beberapa orang tokoh masyarakat Kei dikatakan bahwa agama Hindu (orang Jawa dan Bali) masuk di wilayah tersebut secara bertahap dan sedikitnya ada 5 tahapan kedatangan orang Hindu khususnya di pulau-pulau Kei (Nuhu Metin Evav / Yuut, Nuhuroa). Ekspedisi pertama tiba pada tahun 1348 dipesisir timur tengah pulau Kei Besar (Nuhufo),dipimpin oleh Rajawang, kemudian ekspedisi kedua mendarat di Teluk Wain.

Ekspedisi ketiga tiba di pantai Faan, yang ke empat tiba di pantai Tetoat, Ngursit, ekspedisi ke lima datang dari Bali dibawah pimpinan Kasdewa, dan mendarat di pantai utara desa Letvuan, dan ekspedisi ke enam di bawah pimpinan Jinggra tiba di pesisir barat tengah pulau Kei Besar (Ler Ohoilim) (Sahusilawane, 1996).

Pada akhirnya 28 Kapata Arkeologi Vol. 3 Nomor 4 / Juli 2007 Balai Arkeologi Ambon I Wayan Suantika, Benang Merah Budaya Masyarakat Kei Kecil dan Masyarakat Bali
ekspedisi Kasdewa dan Jinggra, mendapat sambutan masyarakat Kei. Kasdewa yang datang ke Letvuan bersama istrinya Dit Ratngil dan 2 orang anak lelakinya yang bernama Tatbut, Fadir Samai. Tabtut menikah dengan Nen Masit dan memiliki 1 anak lelaki bernama Atman dan 5 orang anak perempuannya yaitu Dit Sakmas, Bainful, Dit Nangan, Sakin dan Dit Renyar, mereka diterima baik oleh penduduk setempat, dan dianggap sebagai wakil dewa dari Bali.


Dengan mengacu pada adanya uraian dan tahun kedatangan tersebut, maka dapat kita yakini bahwa proses kedatangan orang-orang Hindu dari pulau Jawa dan Bali memang pernah terjadi, seiring dengan ekspansi oleh Kerajaan Majapahit pada sekitar abad 14 masehi. Sehingga dapat pula kita meyakini adanya hubungan budaya pada masa lampau.

Bahkan diyakini bahwa berkat kedatangan Kasdewa dan Janggra inilah pada akhirnya lahir hukum adat yang disebut dengan Laar Vul ngabal, yang yang dianggap sebagai sebuah tonggak sejarah penting dalam pemahaman hak azasi manusia, karena dengan disepakatinya hukum ini peristiwa pertempuran/peperangan antar kelompok dapat dieliminir dan jiwa persatuan dikumandangkan serta kehidupan masyarakat mulai tertata dan terwujudnya pranata sosial. Sampai saat ini tradisi larvul ngabal masih dipergunakan/dijadikan pedoman hidup bermasyarakat oleh masyarakat dikepulauan Kei Kecil.

Dit Sakmas Bertemu Arnuhu

Dit Sakmas setiap kali tidak betah dirumah hingga ia selalu disindir oleh orang tua dan kakak-kakaknya dengan ARNUHU SUARUBUN, seorang terkenal terkemuka disebut HALA'AI di Danan Dab.

Dengan dasar sindiran orangtuanya itu, Dit Sakmas terjemahkan bahwa adalah bahasa hukum yaitu orang tuanya telah mempersuntingkan ia dengan Arnuhu. Makanya Dit Sakmas memutuskan untuk harus pergi bertemu Arnuhu.

Perjalanan Dit Sakmas pertama menuju Danar melalui pesisir timur. Dari Ohoivuur melewati Vuar El. Di Vuar El ia berjumpa dengan seorang namanya NARA'AHA MATANVUUN SUTRA ESOMAR. Nara'aha langsung meminta Dit Sakmas agar keduanya kawin. Dit sakmas menolak permintaan Nara'aha dengan menjelaskan bahwa ia sudah dilindungi hukum - WAT I TE LELAN AIN - dan Dit Sakmas mengangkat Nar'aha menjadi saudaranya.

Olehnya maka Nar'aha Matanvuun Sutra Esomar mengantar saudara angkatnya (Dit Sakmas) ke kampung Wain dan bermalam. Paginya Dit Sakmas meneruskan perjalanan dari Wain menuju Danar Untuk bekal perjalanan Nar'aha Matan Vuun Sutra mengisi saloi Dit Sakmas sagu lempeng itu dinamakan - MANGA BAU TAVER WAIN-.

sepanjang perjalanan ke Danar bekal sagunya dicuri/Diambil dari salonya hingga sampai di Limngoran (Kol dirdir) bekal Dit Sakmas habis dicuri. Ia meneruskan perjalanan sampai di Danar dan bertemu ARNUHU yang sedang sibuk mengerjakan perahu di pasir pantai. Dit Sakmas menyapanya dan bertanya dimana tinggalnya Arnuhu dan ia berada dimana sekarang.

Arnuhu dengan menyembunyi dirinya ia menjawab bahwa orang itu berada dirumahnya. 

Arnuhu menyembunyi dirinya dengan menyatakan bahwa orangnya da rumah. Lalu Arnuhu Suarubun menghantar Dit Sakmas ke rumahnya dipersilahkan Dit Sakmas masuk dan duduk didalam. Arnuhu berpura pura keluar untuk mencari tuanrumah dan ia ke belakang rumah memberikan badan di sumur lalu masuk dari pintu belakang rumah berganti pakaian. Sesudah itu Arnuhu pergi bertemu Dit Sakmas. Setelah itu Dit Sakmas menjelaskan hal ihwal yang menjadi alasan untuk ia datang bertemu Arnuhu. Arnuhu menyapanya dan menyogoki Dit Sakmas dengan siripinang, sebagaimana biasa diterimanya seorang tamu.

Untuk diketahui Arnuhu dari kalangan tingkat mana Dit Sakmas sebenarnya, Arnuhu membuat sirihpinang dalam tempat sirih (baanrit) atas dua bahagian. Bahagian kanan baanrit diletakkan daun siri berwarna kuning dan pinang berbiji besar (maneran narnar dan isu mel), sedang bahagian kiri diletakkan siri biasa dan pinang biasa. Setelah siri pinang disodorkan Dit Sakmas langsung mengangkat siripinang bahagian kanan yaitu daun siri berwarna kuning.

Dengan adanya tanda itu sudah menentukan bahwa Dit Sakmas dari kalangan MEL MEL. (bangsawan) maka Arnuhu Suarubun menerima Dit Sakmas menjadi istrinya.

Mereka hidup bersama di Danar beberapa waktu lamanya, dan Dit Sakmas ingin kembali mengunjungi orang tuanya di Ohoivuur. Arnuhu membuat bekal Dit Sakmas dengan mengisi di saloi ikan SAKUDA ASAR (Fo ngon roror).

Kembali ke Ohoivuur

Perjalanan Dit Sakmas kembali ke Ohoivuur melalui bahagian tengah daerah SITHARNOL kekeuasaan RAT KANEW. Sesampai di suatu tempat dekat SITHARNOL ia dihadang dua orang beradik kakak NAR'AHA dan FANEV WAURTAHIT asal kampung Ohoideryamlin. Menurut penuturan bahwa saloi Dit Sakmas dibalik oleh kedua beradik kakak itu.

Penuturan ini merupakan bahasa demi menjaga kehormatan nama Dit Sakmas, namun dirinyalah yang diperlakukan.

Dit Sakmas datang ke Sitharnol dengan keluh tangisan, menyampaikan kepada RAT KANEW perbuatan perlakuan NAR'AHA dan FANEV atas dirinya. Berdasarkan hukum (Babakain) yang berlaku RAT KANEW memerintahkan rakyat Bibtetratsiw menangkap kedua pelaku itu dan membunuhnya. Sesudah itu Rat Kanew menyuruh rakyat Bibtetratsiw pergi ke orangtua kedua korban - TESU EVAV WAURTAHIT di Ohoideryamlim, menuntut agar ia (orangtua sikorban) harus membuat harta untuk pulihkan perbuatan kesalahan anak-anaknya. Bila tidak anak-anaknya akan dibunuh. Tindakan ini merupakan tipuan karena kedua pelaku (Nar'aha dan Fanev) telah terbunuh, diikat pada tiang dan ditempatkan di NUUT AI NUM,

TESU EVAV WAURTAHIT bapa kedua korban menyerahkan 3 (tiga) mas antaralain: NGARUV TESU, A FEMAT dan A SELNGATAN, dengan memohon agar kiranya anak-anaknya jangan dibunuh.

Rakyat Bibtetratsiw kembali ke SITHARNOL dengan membawa 3 (tiga) mas diserahkan kepada Rat Kanew dengan menyampaikan amanat pesanan dari Tesu Evav (orangtua sikorban), balasannya dengan kata sindiran terhadap Tesu Evav Waurtahit. Dari 3 (tiga) mas ini RAT KANEW mengirim NGARUV TESU kepada ARNUHU SUARUBUN suami Dit Sakmas dengan menyatakan bahwa mas itu adalah MAS TEBUSAN DARAH MERAH. Sedang 2 mas lainnya yaitu A FEMAT dan A SELNGATAN Rat Kanew meletakan pada LUV HUKUM BABAKAIN di SITHARNOL.

Perjalanan kedua menuju Danar untuk mengesahkan Hukum Laar Vul, ada bentuk larangan atau sasi yang digunakan oleh Dit Sakmas, yakni ia mengikatkan daun kelapa putih (janur) disetiap perbekalannya. Diantara barang-barang Dit Sakmas dalam perjalanan tersebut, ada seekor kerbau yang dinamakan Kerbau Siw. Kerbau ini kemudian disembeli di Siran Siryen desa Elaar Ngursoin, antara Wain dan Danar, yang dibagi-bagikan menjadi 9 bagian untuk perwakilan atau kampung (desa) yang hadir saat itu. Dalam pertemuan di Elaar Ngursoin inilah lahir kesepakatan yang kemudian menjadi diktum hukum Laar Vul (= darah merah).

Kerbau yang disembeli tersebut dibagikan secara merata kepada 9 Rat/Hilaai (Raja) yang mewakili 9 kampung (dalam bahasa Kei kampung = ohoi), diantaranya : 
1) Hilaai Danar mendapat bagian kepala, 
2) Hilaai Ngursoin mendapat mata, 
3) Hilaai Elaar mendapat gigi, 
4) Hilaai Hoar Uun/Rahadat/Rahabav mendapat Ekor, 
5) Hilaai Mastur mendapat Tanduk, 
6) Hilaai Ohoinol mendapat Perut Besar, 
7) Hilaai Ributat Yatvar mendapat Perut, 
8) Hilaai Ohoider mendapat Empedu, dan 
9) Hilaai Wain mendapat Hati.

Ungkapan adat yang diucapkan dalam proses pembagian itu ialah Larwul In Turak (laar vul membakar), yang bermakna bahwa hukum Laar Vul akan digunakan untuk menjaga keamanan, ketertiban, menjamin harkat dan martabat manusia dan hak-hak asasinya. 

Hukum Laar Vul

Secara keseluruhan hukum adat ini terdiri dari 7 pasal, yakni:

Pasal 1. Uud entauk atvunad:  berarti “kepala bersatu, bertumpu di atas pundak” artiya dimana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad atau yang Mahakuasa; para leluhur (moyang-moyang); dan tokoh-tokoh adat, pemerintah dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/persatuan dan harmoni dalam masyarakat dapat dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan sebagai anggota tubuh.

Tugas perlindungan mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan ungkapan peri-bahasa Kei, yang dalam dasar sifat hidup orang Kei dinyatakan : Sob Duad, taflur (flurut) Nit, fo hoar towlai, artinya “kita meminta berkat dengan berdoa kepadaTuhan, dan kita saling hormat-menghormati dengan mengingat pesan-pesan leluhur supaya kita berselamat di dunia dan akhirat.”

Pasal 2. Lelad ain fo mahiling: berarti:”Leher bersifat luhur, suci dan murni” pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei danggap sebagai pusat hidup dan kehidupan yang bernafas, dan yang harus dilindungi atau dijaga.

Pasal 3. Ul nit envil rumud : berarti “kulit membungkus tubuh kita”, ungkapan ini memiliki dua arti, yakni pertama, harkat dan martabat manusia harus dilindngi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan merahasiakan sesuatu tentang orang lain dan diri sendiri.

Pasal 4. Laar nakmut naa ivud : berarti “darah beredar atau terkurung di dalam tubuh” makna dari pasal ini adalah penghargaan terhadap kehidupan, karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang dapat mengakibatkan keluarnya darah dari dalam tubuh.

Pasal 5. Reek fo kelmutun : berarti, “ambang kamar atau kesucian kaum wanita diluhurkan”  ungkapan ini memiliki dua arti, yakni, pertama, bahwa kamar tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua,perempuan juga dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang wanita dengan cara ‘bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya’.

Pasal 6. Moryaian fo mahiling : “tempat tidur orang yang sudah berumah tangga dan juga wanita bujang (gadis) adalah agung mulia” hal ini juga berkaitan dengan pasal 5. Bahwa orang lain tidak boleh menggunakan atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis. Dan,

Pasal 7. Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did: Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai bukti atau ada sejarah (argumentasi) yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut.

Dapat dikatakan bahwa mekanisme lebih lanjut atau aturan pelaksana dari Hukum Adat Larwul Ngabal seperti yang telah diuraikan di atas, dielaborasi lagi ke dalam 3 (tiga) bentuk hukum adat Kei yakni Hukum Nevnev; Hukum Hanilit, dan Hukum Hawear Balwarin. Ketiga hukum adat ini masing-masing terdiri dari 7 pasal. Bila dipilahkan pasal-pasal dari hukum Larvul Ngabal ke dalam ketiga hukum ini, maka pasal 1-4 adalah hukum Nevnev, atau hukum peri-kemanusiaan, penghargaan terhadap kemanusiaan; pasal 5-6 adalah hukum Hanilit, atau hukum susila/perilaku, penghargaan terhadap perempuan; dan pasal 7 adalah hukum Hawear Balwarin atau hukum keadilan sosial.

Akhirnya sebuah syair tua yang didaulat sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Kei saya ketengahkan disini, sebagai bagian dari falsafah hidup, sampai dengan pola pembagian lahan untuk kawasan darat maupun kawasan laut, yakni : batatang nuhu met, fitroa fitnangan, vuut er is waar, medar er sai roan, kulwai ukadir rir wai dok tub” (kita menjaga tanah dan pantai, laut dan darat, ikan-ikan mematuk akar, kuskus memakan dedaunan, tempat kediaman ulat dan cacing). 

Syair ini memberi gambaran yang jelas bahwa manusia dan alam beserta segenap isi kandungannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perkataan fitroa fitnangan (tujuh di laut, tujuh di darat) berarti sudah mencakup keseluruhan yang ada di laut maupun di darat. Bahkan lebih ditegaskan lagi bahwa ulat dan cacing sekalipun, mempunyai hak untuk hidup di tempat keberadaannya. Manusia dan alamnya hidup untuk saling menghidupi.

Sekian dan Terimakasih. U Jo Hormat.
Penyusun : AR. Renhoran

Sumber :
https://ellykudubun.wordpress.com/tag/keadilan-dalam-larvul-ngabal/
http://5power.blogspot.com/2011/12/dit-sakmas.html
Potret Masyarakat Kei : Makalah Universitas Kristen Wacana.
------------------------------------

Tulisan ini disusun sebagai salah satu Materi Presentasi Sekolah Islam dan Gender (SIG) PC. KOPRI TUAL dengan tema Materi "Sejarah Pergerakan Perempuan Lokal" Minggu 25 November 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar