Minggu, 28 April 2013

Jender ohhh Jender...

-->
Sepetik Sejarah Gender

Belakangan banyak dari kaum wanita di seluruh penjuru dunia mengumandangkan satu ultimatum yang menjadi Global Isue sudah seperti sebuah cita cita yang 'wajib' di realisasikan sehingga mensugesti mereka untuk mampu bangkit dan melawan situasi yang tidak menguntungkan mereka. Tidak hanya wanita, dengan dukungan penuh dari kaum pria yang sudah merasa 'bosan' dengan posisinya sebagai pemimpin juga tak mampu lagi bersikap bijak, bersama dengan penuh semangat menuarakan slogan “Kesetaraaan Gender”. Sebelum mengenal lebih jauh tentang gender, mari kita kupas terlebih dahulu sepetik sejarah dari kesetaraan jender itu sendiri.
Barat lahir disaat wanita ditindas dan diperlakukan secara tidak adil. Sebutan feminis, konon memiliki akar kata fe-minus. Fe artinya iman, minus artinya kurang. Feminus artinya kurang iman. Terlepas dari sebutan itu, yang pasti nasib wanita di Barat sungguh buruk. Mayoritas korban inquisisi adalah wanita. Wanita dianggap setengah manusia. Contoh kasus penindasan tidak sulit untuk ditelusur lebih lanjut.Dipicu oleh pandangan buruk (misogynic) orang Barat terhadap wanita. Buku John Mary Ellmann, Thingking About Women, yang terbit pada tahun 1968 di New York mengungkap pelecehan-pelecehan orang Barat sejak zaman dahulu terhadap wanita.
Dari negara-negara Barat solusi tidak lahir dari ajaran agama. Solusinya datang dari tuntutan masyarakat wanita, berbentuk gerakan feminisme. Mulanya hanya ingin memberantas penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan. Tapi, tidak puas dengan itu, para feminis di London tahun 1977 merubah strategi. Mungkin mengikuti teori Michael Foucault, feminism bisa menghemoni dunia dengan menjual wacana gender (gender discourse). Persis seperti Amerika memberantas teroris. Biaya meliberalkan pikiran umat Islam lebih murah dibanding biaya menangkap teroris.
Konon, gender juga membela laki-laki yang tertindas, tapi ketika wacana ini masuk PBB tahun 1975 konsepnya berjudul Women in Development (WID). Sidang-sidang di Kopenhagen (1980), Nairobi (1985), dan Beijing (1995) malah meningkat menjadi Convention for Eliminating Discrimination Against Women (CEDAW), bukan CEDAM. Namun, ketika dijual ke pasar internasional programnya diperhalus menjadi Gender and Development. Dan ketika menjadi matrik pembangunan menjadi Gender Development Index (GDI). Suatu Negara tidak bisa disebut maju jika peran serta wanita rendah. Untuk mengukur peran politik dan social lain wanita dibuatlah neraca Gender Empowerment Measure.
Indonesia, tak ketinggalan segera ikut arus. Pemerintah lalu membuat Inpres No.9/2000 tentang pengarus utamaan Gender dalam pembangunan. Kini bahkan sudah akan menjadi undang-undang. Padahal enam Peraturan Pemerintah, empat Peraturan dan satu Instruksi Menteri serta satu kebijakan Kementerian tidak berjalan. Tidak semua wanita menginginkan kesetaraan.

Demam Akut dan Fatamorgana

Sepintas memang kita melihat bahwa tak ada salahnya wanita dalam perjuangannya membela kaum lemah, namun yang perlu kita garis bawahi adalah apa yang selanjutnya di lakukan, apakah dengan jalan 'balas dendam' kah atau mengambil alih secara paksa kedudukan yang membuatnya hidup dalam keterpurukan itu mampu mengubah segalanya ? Mampukah realisasi gerakan jender mampu memberikan jalan keluar yang solutif serta kompleks, ataukah hanya sebatas demam akut sementara dan fatamorgana saja ?

Salah satu dari rangkaian agenda besarnya, Barat menginginkan agar anak-anak perempuan tidak menjadi seorang Ibu. Padahal menjadi seorang Ibu adalah fitrah. Apa jadinya ketika para perempuan di dunia ini mengabaikan tugasnya sebagai pengasuh sekaligus guru bagi anaknya dan sibuk mengurusi hal hal besar yang sejatinya sudah menjadi tanggung jawab laki laki sebagai kepala rumah tangga. Hanya dengan dalih eksistensi profesi, emansipasi dll telah menjadi 'jimat' intelektual bagi mereka untuk terus melangkah menjauhi kodrat. Belum cukup sampai disitu, di India misalnya, juga mendukung agenda kesetaraan jender tersebut dengan menekan angka kelahiran bagi para wanita disana dengan cara legalisasi Kondom. Di Negara negara lain program program serupa juga secara euforia di sajikan dengan berbagai macam spekulasi irasional. Indonesia, sebut saja program pemerintah yang bertujuan untuk 'menghapus' sebagian populasi di negri ini dengan alih alih menekan angka pertumbuhan manusia yang mengakibatkan meningkatnya jumlah kepadatan penduduk di Ibukota. Begitulah kira kira salah satu faktor program Keluarga Berencana (KB) di jalankan. Padahal, masalah tersebut masih bisa di atasi dengan program lain semisal transmigrasi. Toh, dengan bertransmigran, pengaruh positif seperti pertukaran pelajar juga ahli profesi lain secara Nasional di seluruh daerah daerah yang masih minim dapat membawa kontribusi besar bagi percepatan pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang baik tentunya. Hanya saja pemerintah belum mampu memfasilitasi sebagian daerah tertinggal guna memenuhi kebutuhan transmigran tersebut. Selain itu juga, di barat pelajaran yang di berikan kepada anak anak adalah tentang cara aborsi yang baik, legal dan aman. Lantas, dimanakah letak rasionalnya bahwa aborsi itu baik itu, apalagi sudah di pelajari sejak masih kanak kanak ? Mengingat pula seperti yang telah di kutip pada tulisan di paragraf sebelumnya bahwa perjuangan jender telah terlepas dari jangkauan norma norma yang berlaku dalam Agama. Contoh kasus adalah adanya istilah-istilah multitafsir seperti kesehatan reproduksi yang diartikan sebagai kebebasan seksual, menghalalkan zina dan aborsi, contohnya seperti bagaimana mereka memberikan perlindungan pada pelaku zina atau bagaimana aborsi bisa masuk dalam Undang-Undang. Sangat luar biasa memang.

Berkaca pada Siti Murtafiah

Sebuah novel yang bercerita tentang paham liberal yang masuk dan mencederai nilai nilai keagamaan dan membawa ummat terjerumus ke dalam penyesatan berpikir. Dalam catatan ini, ada baiknya kita simak pengakuan Siti Murtafiah, setelah dia tersadar dari kekeliruan paham liberal dan kesetaraan gender yang selama ini dia peluk dan dia perjuangkan. Siti mengaku telah terjerat berbagai pemikiran salah, secara perlahan-lahan. Ia sadar setelah bertemu Rahmat. Ia kemudian menyesal dan berjanji akan bertobat.  Siti terpesona oleh sikap dan pemikiran Rahmat, seorang santri kampung yang cerdas dan shalih.
Berikut ini petikan pengakuan Siti kepada Rahmat, akan kekeliruan pemikiran-pemikiran liberal yang digandrunginya selama ini:
”Coba perhatikan, Rahmat. Saya juga baru menyadari belakangan ini. Saya sudah terseret makin jauh. Dulu saya tertarik, karena selalu dikatakan, bahwa kita mengembangkan sikap terbuka, kritis, rasional, tidak partisan. Tapi, ketika sudah masuk ke lingkungan ini, kita tidak punya pilihan, kita juga dididik sangat partisan.  Jika dulu orang Muslim bangga mengutip Imam Syafii, Imam Ghazali, dan sebagainya, maka sekarang yang dibangga-banggakan adalah ilmuwan-ilmuwan orientalis. Katanya, kritis. Bahkan, karya-karya para ulama itu diakal-akali agar sesuai dengan pikiran mereka.
Yang tanpa sadar, kita disuruh membenci sesama Muslim, pelan-pelan kami mau tidak mau harus mengambil jarak dari aktivitas keislaman dan komunitas Muslim. Coba kamu perhatikan, pernah nggak kamu lihat Kemi shalat berjamaah ke masjid, aktif dalam majlis-majlis taklim, mengajar mengaji anak-anak, shalat tahajut, puasa sunnah, dan sebagainya. Lihat, siapa teman-teman dekatnya!  Ingat nggak kata Ali bin Abi Thalib, siapa teman kepercayaan kamu, itulah kamu.
Perhatikan juga apa yang selalu diomongkan dia. Dia tidak lagi bicara tentang aqidah Islam, bahwa iman itu penting, kesalehan itu penting. Tidak bicara tentang bahaya kemusyrikan dan kemurtadan. Padahal, sejak kecil di pesantren, dia sudah diajarkan kitab-kitab Tauhid yang membahas masalah syirik. Bahkan, kata syirik, kafir,  itu sudah dicoret dari kosakata dia. Syirik dan iman dianggap sama saja. Mukmin dan tidak mukmin dianggap sama. Islam dan bukan Islam disama-samakan. Padahal, al-Quran jelas-jelas membedakan derajat orang mukmin dengan derajat orang kafir.
Saya kadang bertanya, mengapa saya menjadi begini. Bahkan, di kepala saya yang ada bukan lagi bagaimana memahami al-Quran dengan baik dan benar, tetapi bagaimana agar al-Quran bisa saya gunakan untuk mendukung pemahaman saya tentang Pluralisme, liberalisme, toleransi, dan sebagainya. Teman saya sampai berusaha keras untuk meraih gelar doktor dengan membuat metodologi Tafsir yang sesuai dengan pemikiran Pluralisme.
Semua itu tidak terjadi seketika. Perlu waktu panjang.  Sedikit demi sedikit, pikiran dibelokkan.  Tanpa sadar.  Perasaan dan pikiran dibelokkan.  Saya suatu ketika bertanya kepada diri saya sendiri, mengapa saya tidak lagi mencintai saudara-saudara saya di Palestina? Bahkan, hati saya mulai condong pada kaum Yahudi. Saya suka melihat kemenangan Yahudi; yang saya lakukan adalah mencari-cari kelemahan orang Palestina dan kelebihan orang Yahudi.  Malah, saya sama sekali sudah tidak peduli dengan masalah umat Islam di Kasmir, Moro, Afghanistan, Irak, dan sebagainya. Saya menganggap semua itu adalah komoditas kaum fundamentalis untuk mencari popularitas.
Yang lebih saya kedepankan adalah isu-isu yang dibawa oleh negara-negara Barat, seperti isu radikalisme Islam, pluralisme,  fundamentalisme, dan sebagainya. Padahal, berapa ratus ribu bahkan jutaan penduduk sipil di negara-negara Muslim itu yang dibunuhi? Saya sudah menganggap bahwa mereka itu semua berhak dibunuh, karena mereka bagian dari kaum fundamentalis. Tidak ada diantara kami yang habis-habisan mengutuk pembunuhan manusia-manusia Muslim itu. Hanya sesekali keluar pernyataan, agar tidak terlalu dianggap antek Barat. Tapi, coba kalau ada satu saja orang bule yang tewas dibunuh oleh satu kelompok Islam, atau ada bom meledak di suatu tempat yang menewaskan puluhan orang, maka kami akan habis-habisan mengutuk.
Yang lain, ini yang menyadarkan saya, tiba-tiba tertanam dalam diri saya, perasaan benci pada syariat Islam, dan bahkan benci dengan kemenangan satu partai Islam dalam Pemilu. Saya benci sekali kalau ada orang ngomong syariat. Bahkan, saya pernah memberi masukan teman-teman Kristen agar mereka mengeluarkan pernyataan yang menolak syariat. Saya pernah bingung, kenapa saya bisa menjadi begini. Saya mengenakan kerudung, tetapi isi kepala saya sama sekali tidak suka dengan kerudung. Saya benci sekali kalau ada orang Islam atau organisasi Islam yang mencoba membatasi pakaian.
Bahkan saya pernah ikut merancang demonstrasi menentang RUU Pornoaksi dan Pornografi. Saya benar-benar termakan paham kebebasan. Saya benci MUI, yang menurut saya sok Islam sendiri. Saya mendukung Lia Eden, saya mendukung Ahmadiyah, saya benci semua orang Islam. Bahkan, pernah saya membenci ayah saya sendiri, karena saya melihat dia bersama para kyai di daerah saya mendatangi DPR,  meminta agar tayangan-tayangan porno dan tidak senonoh dihentikan penayangannya. Saya benci itu semua.
Kamu tahu Rahmat, karena untuk membuktikan saya sudah benar-benar menyatu dengan paham kebebasan, saya mendukung hak wanita untuk menjadi pelacur.  Saya menentang penutupan komplek-komplek WTS di berbagai kota. Melacur saya anggap sebagai hak asasi wanita. Menjadi gigolo juga hak asasi. Yang penting tidak mengganggu hak orang lain. Hak-hak kaum homo dan lesbi juga saya perjuangkan. Sebab saya sudah dicekoki paham kebebasan, bahwa mereka adalah manusia.
Saya tidak tahu, mengapa saya menjadi seperti ini. Semua pergaulan, kuliah, diskusi, kegiatan, sepertinya sudah diatur sedemikian rupa, sampai saya tidak sadar, bahwa saya telah menjadi korban dari sebuah skenario besar. Saya korban. Kemi juga korban. Entah dia sadar atau tidak.
Bayangkan Rahmat, saya ini wanita, perempuan. Sampai karena sudah begitu merasuknya paham kesetaraan gender dalam diriku, saya tidak lagi mengakui laki-laki berhak memimpin rumah tangga. Saya benci jika dikasihani. Pernah saya naik bus, ada seorang laki-laki memberikan tempat duduknya karena kasihan saya berdiri, saya bentak dia. Saya mau suami saya yang nanti melayani saya, menyediakan minum buat saya, mengasuh anak saya, dan kalau perlu membawakan tas saya. Entah kenapa di kepala saya tertenam kebencian dan dendam kepada laki-laki, karena mereka telah menindas kaum saya selama umur manusia.
Suatu ketika, saya merenungkan semua itu dengan serius. Mengapa saya menjadi begini? Mengapa jadi begini? Itulah pertanyaan saya beberapa bulan terakhir ini. Saya sadar, tetapi saya tidak tahu, bagaimana saya akan keluar dari jeratan ini. Sudah terlalu jauh... Saya sulit keluar....Rahmat, entah bagaimana ujungnya perjalanan saya ini....”
”Saya sedih .... hati saya sangat perih... ingat ayah saya, Ibu saya, adik-adik saya...Saya dulu ingin membuktikan kepada mereka, bahwa saya bisa mandiri, saya bisa bebas, saya mau merdeka, saya tidak mau diatur lagi dengan berbagai belenggu. Saya minggat dari rumah, kuliah di satu kampus Islam Jakarta, lalu terakhir terseret ke kampus ini, karena ada beasiswa...Entahlah... sampai kapan saya akan terus seperti ini. Terkadang saya frustrasi...”
”Saya juga tidak tahu... ini sindikat atau tidak. Yang jelas, saya sudah tidak punya teman, tidak punya komunitas, malu untuk bergaul dengan sesama Muslimah. Pikiran saya yang sudah terjerat. Untuk membuang jerat-jerat pikiran ini tidak mudah. Saya sadar ini salah, tetapi saya seperti tidak berdaya untuk melawannya. Belum lagi, instruksi dan program-program yang rutin. Saya sering tak sadar menghujat-hujat Islam sendiri, memaki-maki umat Islam sendiri. Semua itu berjalan begitu saja tanpa bisa saya hindari. Saya sudah terjerat; terjerat oleh pikiran saya sendiri, terjerat oleh lidah saya sendiri! Saya sadar, saya geram, karena tidak berdaya untuk melepaskan diri dari semua keterjeratan ini... Saya tidak mampu... Padahal, di depan laki-laki saya selalu mencoba tampil perkasa, saya tidak mau dipandang rendah. Tapi, kenyataannya, saya tidak berdaya melawan pikiran saya sendiri...”.
Semuanya kita kembalikan lagi kepada para pembaca yang nantinya dapat menarik sendiri kesimpulannya masing masing terkait masalah tersebut. Kontroversional memang, namun perlu banyak literatur, referensi, dalil aqli dan naqli yang pas untuk mengkaji keseluruhan dari hal tersebut. Dari penulis, Semoga bermanfaat dan sampai ketemu pada lanjutan pembahasan nanti dengan judul Jender dan Eksploitasi Wanita. Wallahu 'alam bissawab...
Salam Penulis,

Achmad Rohany

-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar