Senin, 11 Januari 2016

Ekspektasi Cinta

September 2003

Jika cinta adalah anugerah, maka dirinya memang satu satunya anugerah terindah bagiku. Dia adalah wujud Cinta Tuhan untukku. Karena dengan mengenalnya aku mampu menemukan kekuatan baru dalam diriku. Kekuatan yang paling besar yang pernah ku miliki. Kombinasi antara Keyakinan dan Harapan.

Namaku Dio, Kelas 6 SD waktu itu. Aku adalah seorang anak yang senang bermimpi. Mimpiku suatu saat nanti aku ingin menjadi astronot. Karena aku penasaran dengan langit. Seluas apakah ia di banding bumi dan mahluk apa sajakah yang nantinya ku temui disana? Yah, dengan bermimpi seakan semua yang aku inginkan seakan terwujud.
Sehingga aku lebih memilih hidup dialam mimpiku daripada di kenyataan. Berjalan-jalan di atas awan, membangun istana Matahari, berubah menjadi power ranger dan mengendarai megarobotnya, bersahabat dengan digimon, masuk ke dalam dunia digital, portal masa depan, mesin waktu dan sebagainya.

Dan dari mimpilah kami berkenalan. Dia belum menyebutkan namanya. Dia datang begitu saja. Tersenyum dengan wajah yang tak begitu jelas. Suaranya terdengar lembut dan manja. Bahkan bertahun lamanya suara itu masih terekam sangat jelas. Rambutnya panjang bergelombang dengan mahkota perak berhias mutiara putih. Desir rambut mengikuti tiupan angin. Gaun putih ala puteri-puteri raja inggris kuno menghias jelita di tubuhnya. Entah mengapa sulit menghapus bayang-bayang itu yang semu. Bahkan wangi tubuhnya terus ku bawa. Hal itu yang sangat menyiksa.

Ia menghampiriku dan bertanya siapa namaku dan dari mana asalku. Kami bertemu di tengah padang pasir yang kering, namun hatiku takkan gersang di buatnya. Kehadiranya merubah kejamnya gurun menjad oase yang memanjakan. Debar jantung tak menentu, basah kucur keringat di badan.

“Kau.. siapa kah kiranya namamu.. Sepertinya kau bukan dari sini. Lantas dari manakah asalmu?” ucapnya mengintrogasiku namun dengan senyuman semanis tebu.

“eemm.. ee.. bolehka saya tahu namamu dahulu baru itu saya kan sebutkan namaku?” jawabku resah. Antara malu , penasaran lantas bahagia.

“tidak.. akulah yang dahulu bertanya. Sebut sajalah namamu, baru kau berhak atas apa yang kau kehendaki..” pintanya lagi padaku dengan sedikit manja. Senyum tersungging dari bibirnya. Hanya itu yang dapat ku nikmati.

Tak ingin berhenti jantung memukul tubuh dari dalam. Gerak geriknya semakin membuatku tenggelam dalam samudera kegelisahan. Aku tak sabar ingin mengenalnya lalu memilikinya. Tak perlu jarak, waktu, harta atau kasta. Kami sama-sama manusia tercipta untuk saling mencinta. Aku takkan mengerti bagaimana bisa terjebak dalam cinta yang baru-baru ini. Tak sekalipun dia ku kenali. Tak jelas wajahnya, tak jelas namanya, dan tak jelas pula maksudnya mendekatiku. Belum tersadar olehku bahwa ini mimpi.

“aa.. akuu.. Dio.. asalku dari gunung seberang. Nah, sekarang berilah aku atas hak yang kau janjikan itu.” Aku berbalik memintanya untuk menjelaskan siapakah mahluk yang telah membuatku bertekuk lutut padanya dalam sekali ucapan itu.

Tapi apa yang kudapat? Dia berlalu sekejap saja. Menghilang bersama jawaban yang nantinyaku rindukan. Kesal bercampur sedih merelakannya. Tapi bagaimana bisa aku mampu mencintainya. Mencintai seseorang tanpa wajah, nama,bahkan asal sekalipun. Bagaimana aku bisa jatuh cinta dalam waktu yang sesingkat ini. Mengapa Tuhan menghukumku dengan Cintanya kepadaku yang seperti ini? Aku belum mampu menjawabnya. Sebagai anak kecil yang belum mengerti apa arti cinta aku memang masih meraba-raba.

Namun pasti suatu saat nanti aku pun mengerti jelas, bahwa Cinta Tuhan tak pernah menyakiti hambanya. Meski aku tersadar saat bangun di hari itu. Aku tak menganggap itu adalah mimpi. Semuanya terpampang nyata dalam ingatanku. Saat-saat kita bersama dalam waktu yang tak begitu lama. Bercinta lewat sapa dan tanya. Semoga ini adalah awal dari pertemuan kita. Meski di mimpiku aku selalu memujanya dalam cintaku.
September 2003. Namaku Dio baru kelas 6 SD kala itu. Aku pernah bermimpi menemukan kekasihku sebelum ahirnya kami berpisah tanpa ada kepastian hubungan.
***
Maret 2005

Cinta .. cinta.. Oh cinta. Benda apakah itu? Jika aku punya uang yang banyak, bisakah aku membeli benda itu? Oh , ataukah butuh tenaga, waktu serta pengorbanan yang banyak untuk sekedar memahaminya sahaja?

Namaku Dio. lalu aku beranjak remaja. Saat itu aku sudah duduk di kelas 2 SMP. Masa-masa yang kata orang adalah masa yang belajar juga rentan terhadap kekecewaan, kesakitan, juga penderitaan cinta untuk pertama kalinya. Banyak orang yang mengenal cinta di jenjang ini. Namun tidak begitu denganku. Aku menolak untuk jatuh cinta pada teman-teman di sekolah atau di rumah. Entah mengapa bayang-bayang nya masih menghantuiku. 2 tahun serasa kemarin saat kami di pisah oleh dua dunia. Mimpikah aku? Oh, aku tak yakin itu mimpi. Percaya atau tidak, aku pun kembali bermimpi.

“masih ingat aku Dio...? apa engkau menungguku..?” Ia hadir lagi untuk menjengukku dan menanyakan bagaimana keadaan hatiku. Ia datang di mimpiku saat itu.

“tidak.. kau jahat. Kau membiarkanku hidup dalam penderitaan karena tak mampu mendapat jawaban di waktu itu. Kau pergi.. kau sisakan perih dan luka di hati ini.” Jawabku seraya terisak. Aku menangis dalam mimpiku sendiri.

“maafkan aku karena membuatmu lama menunggu... akuu... akuu...” bayanganya lalu menghilang.

Tak sempat kata-katanya dia usaikan, aku terbangun lalu mengutuk diriku sendiri.
“oh Tuhan.. betapa jahanamnya nasib yang menimpa hambamu ini. Saat dia kembali membawa berjuta harap, dia tepiskan lagi dirinya untuk ku miliki. Salah apakah diri ini Tuhan?”. Do’aku yang ku panjatkan sepanjang malam. Merengek, meminta agar di pertemukan denganya kembali esok hari. Meski sekejap untuk mendengar kata yang belum dia usaikan itu. Cintakah ia padaku juga?

Hari meninggalkan hari. Mimpi-mimpi berlalu, malam seakan bosan menasehatiku bahwa harapku haruslah berakhir. Wanita yang ku puja itu takkan kembali lagi untukku. Ia lenyap bersama masa lalu kemarin. Ia hanya bisa hidup dalam kenangan ataupun hayalan. Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk menghidupkannya kembali.
***
Agustus 2009

“sadarlah wahai kekasihku... kita adalah berbeda. Aku fana dan kau nyata. Kita di takdirkan bukan untuk bersama.” Ujarnya padaku dengan senyumnya yang menawan. Tetapi ia tak sanggup membendung air mata yang sebentar lagi akan menghujam bumi dengan kerasnya.

“heh. Kekasih.. Kekasih katamu..? tunggu dulu. Apakah itu berarti penantianku ini tak sia-sia? Terbalaskah sudah rindu dalam penantian panjangku ini? Sungai hati yang telah lama kering ini apakah telah dialiri cinta yang deras dari mu sayangku..” Sya’ir ku terlantun sendu. Batin merintih, duka menyelimuti.

Ia terdiam. Berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa. Sudahlah, begitu sajalah akhirnya.

Ya, karena itu adalah sya’ir yang ku tuliskan sekedar melanjutkan percakapan kita di alam hayalku. Yang aku sendiri bingung menentukan akhirnya. Perlahan tapi pasti aku tersadar bahwa tak seharusnya cinta yang suci ini ku persembahkan untuk sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang membuat gundah selama bertahun pula, dan ia yang tak nyata. Hati yang luka tercabik-cabik coba ku obati lagi. Serpihan hati yang hancur berkeping-keping coba ku susun kembali. Demi menemukan jati diri aku berhenti mencari.

Agustus 2009. Namaku Dio. Kini aku adalah seorang Mahasiswa. Aku banyak membaca fakta dan data dan itu membuatku menjadi seorang yang rasional. Aku pun ikhlas melepasnya. Kekasih yang hadir dalam mimpiku. Aku berterima kasih kepadanya. Karena aku belajar kesetiaan darinya. Belajar ketegaran, cara mencintai walau disakiti. Belajar melepaskan pada cita yang tak bisa dipaksakan. Darinya aku banyak belajar tentang harapan mewujudkan cita-cita dan mimpiku. Karena meskipun kami bertemu dan berpisah di alam mimpi. Dia mampu membuatku membuktikan bahwa cinta ku padanya itu bisa menembus ruang dan waktu. Di setiap sudut, dimensi bahkan alam yang berbeda. Mimpi dan nyata.



Semoga Tuhan menciptakannya dalam wujud yang nyata sebagai pendampingku nanti. Siapapun dia, aku akan tetap mencintainya selayaknya dalam mimpiku selama ini. Dia yang sampai saat ini masih tiada dan entah dimana.
Namaku Dio. Ini adalah kisahku. –SEKIAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar