September 2003
Jika
cinta adalah anugerah, maka dirinya memang satu satunya anugerah terindah
bagiku. Dia adalah wujud Cinta Tuhan untukku. Karena dengan mengenalnya aku
mampu menemukan kekuatan baru dalam diriku. Kekuatan yang paling besar yang
pernah ku miliki. Kombinasi antara Keyakinan dan Harapan.
Namaku
Dio, Kelas 6 SD waktu itu. Aku adalah seorang anak yang senang bermimpi.
Mimpiku suatu saat nanti aku ingin menjadi astronot. Karena aku penasaran
dengan langit. Seluas apakah ia di banding bumi dan mahluk apa sajakah yang
nantinya ku temui disana? Yah, dengan bermimpi seakan semua yang aku inginkan
seakan terwujud.
Sehingga aku lebih memilih hidup dialam mimpiku daripada di
kenyataan. Berjalan-jalan di atas awan, membangun istana Matahari, berubah
menjadi power ranger dan mengendarai megarobotnya, bersahabat dengan digimon,
masuk ke dalam dunia digital, portal masa depan, mesin waktu dan sebagainya.
Dan
dari mimpilah kami berkenalan. Dia belum menyebutkan namanya. Dia datang begitu
saja. Tersenyum dengan wajah yang tak begitu jelas. Suaranya terdengar lembut
dan manja. Bahkan bertahun lamanya suara itu masih terekam sangat jelas.
Rambutnya panjang bergelombang dengan mahkota perak berhias mutiara putih.
Desir rambut mengikuti tiupan angin. Gaun putih ala puteri-puteri raja inggris
kuno menghias jelita di tubuhnya. Entah mengapa sulit menghapus bayang-bayang
itu yang semu. Bahkan wangi tubuhnya terus ku bawa. Hal itu yang sangat
menyiksa.
Ia
menghampiriku dan bertanya siapa namaku dan dari mana asalku. Kami bertemu di tengah
padang pasir yang kering, namun hatiku takkan gersang di buatnya. Kehadiranya
merubah kejamnya gurun menjad oase yang memanjakan. Debar jantung tak menentu,
basah kucur keringat di badan.
“Kau..
siapa kah kiranya namamu.. Sepertinya kau bukan dari sini. Lantas dari manakah
asalmu?” ucapnya mengintrogasiku namun dengan senyuman semanis tebu.
“eemm..
ee.. bolehka saya tahu namamu dahulu baru itu saya kan sebutkan namaku?”
jawabku resah. Antara malu , penasaran lantas bahagia.
“tidak..
akulah yang dahulu bertanya. Sebut sajalah namamu, baru kau berhak atas apa
yang kau kehendaki..” pintanya lagi padaku dengan sedikit manja. Senyum
tersungging dari bibirnya. Hanya itu yang dapat ku nikmati.
Tak
ingin berhenti jantung memukul tubuh dari dalam. Gerak geriknya semakin
membuatku tenggelam dalam samudera kegelisahan. Aku tak sabar ingin mengenalnya
lalu memilikinya. Tak perlu jarak, waktu, harta atau kasta. Kami sama-sama
manusia tercipta untuk saling mencinta. Aku takkan mengerti bagaimana bisa
terjebak dalam cinta yang baru-baru ini. Tak sekalipun dia ku kenali. Tak jelas
wajahnya, tak jelas namanya, dan tak jelas pula maksudnya mendekatiku. Belum
tersadar olehku bahwa ini mimpi.
“aa..
akuu.. Dio.. asalku dari gunung seberang. Nah, sekarang berilah aku atas hak
yang kau janjikan itu.” Aku berbalik memintanya untuk menjelaskan siapakah
mahluk yang telah membuatku bertekuk lutut padanya dalam sekali ucapan itu.
Tapi
apa yang kudapat? Dia berlalu sekejap saja. Menghilang bersama jawaban yang nantinyaku
rindukan. Kesal bercampur sedih merelakannya. Tapi bagaimana bisa aku mampu
mencintainya. Mencintai seseorang tanpa wajah, nama,bahkan asal sekalipun.
Bagaimana aku bisa jatuh cinta dalam waktu yang sesingkat ini. Mengapa Tuhan
menghukumku dengan Cintanya kepadaku yang seperti ini? Aku belum mampu
menjawabnya. Sebagai anak kecil yang belum mengerti apa arti cinta aku memang
masih meraba-raba.
Namun
pasti suatu saat nanti aku pun mengerti jelas, bahwa Cinta Tuhan tak pernah
menyakiti hambanya. Meski aku tersadar saat bangun di hari itu. Aku tak
menganggap itu adalah mimpi. Semuanya terpampang nyata dalam ingatanku.
Saat-saat kita bersama dalam waktu yang tak begitu lama. Bercinta lewat sapa
dan tanya. Semoga ini adalah awal dari pertemuan kita. Meski di mimpiku aku
selalu memujanya dalam cintaku.
September
2003. Namaku Dio baru kelas 6 SD kala itu. Aku pernah bermimpi menemukan
kekasihku sebelum ahirnya kami berpisah tanpa ada kepastian hubungan.
***
Maret 2005
Cinta
.. cinta.. Oh cinta. Benda apakah itu? Jika aku punya uang yang banyak, bisakah
aku membeli benda itu? Oh , ataukah butuh tenaga, waktu serta pengorbanan yang
banyak untuk sekedar memahaminya sahaja?
Namaku
Dio. lalu aku beranjak remaja. Saat itu aku sudah duduk di kelas 2 SMP.
Masa-masa yang kata orang adalah masa yang belajar juga rentan terhadap
kekecewaan, kesakitan, juga penderitaan cinta untuk pertama kalinya. Banyak
orang yang mengenal cinta di jenjang ini. Namun tidak begitu denganku. Aku
menolak untuk jatuh cinta pada teman-teman di sekolah atau di rumah. Entah
mengapa bayang-bayang nya masih menghantuiku. 2 tahun serasa kemarin saat kami
di pisah oleh dua dunia. Mimpikah aku? Oh, aku tak yakin itu mimpi. Percaya
atau tidak, aku pun kembali bermimpi.
“masih
ingat aku Dio...? apa engkau menungguku..?” Ia hadir lagi untuk menjengukku dan
menanyakan bagaimana keadaan hatiku. Ia datang di mimpiku saat itu.
“tidak..
kau jahat. Kau membiarkanku hidup dalam penderitaan karena tak mampu mendapat
jawaban di waktu itu. Kau pergi.. kau sisakan perih dan luka di hati ini.”
Jawabku seraya terisak. Aku menangis dalam mimpiku sendiri.
“maafkan
aku karena membuatmu lama menunggu... akuu... akuu...” bayanganya lalu
menghilang.
Tak
sempat kata-katanya dia usaikan, aku terbangun lalu mengutuk diriku sendiri.
“oh
Tuhan.. betapa jahanamnya nasib yang menimpa hambamu ini. Saat dia kembali
membawa berjuta harap, dia tepiskan lagi dirinya untuk ku miliki. Salah apakah diri
ini Tuhan?”. Do’aku yang ku panjatkan sepanjang malam. Merengek, meminta agar
di pertemukan denganya kembali esok hari. Meski sekejap untuk mendengar kata
yang belum dia usaikan itu. Cintakah ia padaku juga?
Hari
meninggalkan hari. Mimpi-mimpi berlalu, malam seakan bosan menasehatiku bahwa
harapku haruslah berakhir. Wanita yang ku puja itu takkan kembali lagi untukku.
Ia lenyap bersama masa lalu kemarin. Ia hanya bisa hidup dalam kenangan ataupun
hayalan. Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk menghidupkannya kembali.
***
Agustus 2009
“sadarlah
wahai kekasihku... kita adalah berbeda. Aku fana dan kau nyata. Kita di
takdirkan bukan untuk bersama.” Ujarnya padaku dengan senyumnya yang menawan.
Tetapi ia tak sanggup membendung air mata yang sebentar lagi akan menghujam
bumi dengan kerasnya.
“heh.
Kekasih.. Kekasih katamu..? tunggu dulu. Apakah itu berarti penantianku ini tak
sia-sia? Terbalaskah sudah rindu dalam penantian panjangku ini? Sungai hati
yang telah lama kering ini apakah telah dialiri cinta yang deras dari mu
sayangku..” Sya’ir ku terlantun sendu. Batin merintih, duka menyelimuti.
Ia
terdiam. Berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa. Sudahlah, begitu sajalah
akhirnya.
Ya,
karena itu adalah sya’ir yang ku tuliskan sekedar melanjutkan percakapan kita
di alam hayalku. Yang aku sendiri bingung menentukan akhirnya. Perlahan tapi
pasti aku tersadar bahwa tak seharusnya cinta yang suci ini ku persembahkan
untuk sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang membuat gundah selama bertahun pula,
dan ia yang tak nyata. Hati yang luka tercabik-cabik coba ku obati lagi.
Serpihan hati yang hancur berkeping-keping coba ku susun kembali. Demi
menemukan jati diri aku berhenti mencari.
Agustus 2009. Namaku Dio. Kini aku adalah seorang Mahasiswa. Aku banyak membaca fakta dan data dan itu membuatku menjadi seorang yang rasional. Aku pun ikhlas melepasnya. Kekasih yang hadir dalam mimpiku. Aku berterima kasih kepadanya. Karena aku belajar kesetiaan darinya. Belajar ketegaran, cara mencintai walau disakiti. Belajar melepaskan pada cita yang tak bisa dipaksakan. Darinya aku banyak belajar tentang harapan mewujudkan cita-cita dan mimpiku. Karena meskipun kami bertemu dan berpisah di alam mimpi. Dia mampu membuatku membuktikan bahwa cinta ku padanya itu bisa menembus ruang dan waktu. Di setiap sudut, dimensi bahkan alam yang berbeda. Mimpi dan nyata.
Agustus 2009. Namaku Dio. Kini aku adalah seorang Mahasiswa. Aku banyak membaca fakta dan data dan itu membuatku menjadi seorang yang rasional. Aku pun ikhlas melepasnya. Kekasih yang hadir dalam mimpiku. Aku berterima kasih kepadanya. Karena aku belajar kesetiaan darinya. Belajar ketegaran, cara mencintai walau disakiti. Belajar melepaskan pada cita yang tak bisa dipaksakan. Darinya aku banyak belajar tentang harapan mewujudkan cita-cita dan mimpiku. Karena meskipun kami bertemu dan berpisah di alam mimpi. Dia mampu membuatku membuktikan bahwa cinta ku padanya itu bisa menembus ruang dan waktu. Di setiap sudut, dimensi bahkan alam yang berbeda. Mimpi dan nyata.
Semoga
Tuhan menciptakannya dalam wujud yang nyata sebagai pendampingku nanti.
Siapapun dia, aku akan tetap mencintainya selayaknya dalam mimpiku selama ini.
Dia yang sampai saat ini masih tiada dan entah dimana.
Namaku Dio. Ini adalah kisahku. –SEKIAN.
Namaku Dio. Ini adalah kisahku. –SEKIAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar