Malang 2012
1
Hangat matahari
pagi menyambut kegiatan pertama ku berorganisasi di luar aktifitas kampus tahun
ini. Ini adalah organisasi pertama dari daerah asalku yang baru aku ikuti
karena selain menambah teman, aku juga ingin menambah wawasan organisasi plus
pengetahuan mengenai daerah dan mungkin bonusnya... ehemm... ehemm Hehe.
Iren adalah
panggilanku, Mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika di salah satu perguruan
tinggi swasta terbaik di Kota Malang. Aku terlahir sebagai sesosok perempuan yang
‘sok’ dewasa di usia 18 tahun namun masih memiliki sifat manja, begitulah
pendapat dari sahabat sahabatku Nila dan Sisi.
Mereka sahabat terbaikku di
dunia dan mungkin juga di akhirat (hehe), karena merekalah yang paling mengerti
siapa aku melebihi diriku sendiri. Kami bertiga sudah akrab sejak mengenakan
seragam putih abu abu dan kini kami juga masuk bersamaan di organisasi ini.
Kata orang sih aku
lumayan cantik (huh lumayan L)
dengan wajah oriental dan selalu mengenakan kerudung. Meski agak gemuk, tapi
aku tetap percaya diri sesuai jargon “kurus tanda tak mampu” uuppsss, hehe.
Selain mereka, ada
salah satu sahabat baikku yang sudah ku anggap saudaraku sendiri. Gina namanya.
Tapi selama di Kota Malang ini, kami susah untuk bersua meski pernah serumah
waktu pertama menginjakkan kaki di kota ‘romantis’ ini. Karena aku dan Gina
jarang ketemu, paling paling Cuma bisa say “hello” lewat sms, fb, line atau
kadang kadang curhat lewat telpon dari jam 9 malam sampai pagi dengan berbekal
Talk Mania (huft).
Baru sekarang ini
lagi aku bisa melihat wajah manis dengan mata belo’ itu lagi karena Gina juga ikut kegiatan masa orientasi di
organisasi ini.
Kami antusias mengikuti
kegiatan selama tiga hari mulai dari hari pertama sampai hari terakhir. Semua
materi mudah kami cerna, dari pemateri pemateri yang cerdas dan ada beberapa
yang menarik alias handsome and cool. Meski demikian belum satu pun dari
mereka yang mampu menginveksi hatiku dengan ‘virus’ merah jambu. Kendati pun
aku tetap mengikuti event ini dengan semangat positif hingga selesai.
Tak terasa waktu
telah mengizinkan hari untuk menyudahi pertemuan kami. Para peserta yang
terdiri dari mahasiswa mahasiswi di berbagai kampus se Kota Malang segera
berkumpul untuk melaksanakan closing
ceremony yang di pandu panitia sebagai pertanda usainya rutinitas kegiatan
selama tiga hari ini. Yess! sesi ini adalah yang paling di nanti oleh kami
karena sudah cukup puas dan lelah menghadapi berbagai tes seperti uji fisik,
akal serta mental sebagai bekal untuk menghadapi masalah masalah di masa
datang.
Acara baru di
mulai, suasana terasa khidmat, sambil menyimak berbagai sambutan juga petuah
terakhir yang di sampaikan oleh ketua panitia, iseng dua bola mata berlari lari
kecil di sekeliling ruangan sekedar mencari pemandangan segar.
Tiba tiba ada yang
mengusik perhatianku saat melihat sesosok pria dengan kemeja biru tua berbadan
tegak dan agak gemuk duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga gedung
sambil menatap tajam ke arah pembicara.
Bukannya aku terkesima
atau terpukau melihatnya, namun menjadi ‘ganjil’ bagiku karena selama tiga hari
ini barulah aku melihat orang itu dengan wajah tegas serta sorot mata tajam
namun tetap bersahaja. Tak lama aku bereksplorasi bersama jutaan sel sel di
otak hanya untuk mencari hipotesa yang paling mendekati rasional tentang siapa
pria itu, jelaslah sudah jawaban yang ku dapati kemudian. Jawaban itu datang dari
penghormatan moderator
“Yang saya hormati
saudara samad selaku perwakilan organisasi daerah mahasiswa di Jakarta ...“. Oh
ya, ternyata ia adalah undangan yang mungkin baru sampai dari Jakarta pagi
tadi, dan belum sempat memperkenalkan diri kepada kami para peserta.
Aku semakin
penasaran dengannya, mungkin saja banyak pengalaman yang bisa ia ceritakan
padaku karena sepertinya ia terlihat berpengalaman dengan dunia organisasi. Hal
itu sangat kontras terlihat dari sikap dan pembawaanya nya yang cool tapi tetap
berwibawa.
“Lelaki yang duduknya
bersandar itu siapa bang?“ tanyaku kepada kak Ridho salah satu panitia yang
duduk tepat di sampingku. Mungkin karena ada ikatan persaudaraan yang erat
antara kami, aku lupa jika ia adalah panitia yang seharusnya tidak boleh ku
ajak bicara hingga seluruh kegiatan usai nanti.
“Kamu ga Kenal?
Itu Kak samad mahasiswa dari Jakarta. Di kampung kan rumahnya satu komplek
dengan kita ren, Cuma dianya saja yang tidak tinggal bersama orang tuanya
karena dari kecil sudah di angkat oleh kakak ibunya“. Penjelasan yang agak
mengagetkanku dan teman temanku yang juga terlihat menyimak cerita kak Ridho.
Aku hanya menggeleng tanda belum menemukan jawaban yang memuaskan dahagaku.
“Dia itu adiknya Kak
Iksan, Kakanya Rahma, Said dan Sulis“ Tambahnya ditail. Karena merasa belum
bisa memenuhi hasrat keingin tahuanku yang tinggi, kak Ridho lalu memalingkan
kembali perhatiannya ke depan. Tapi aku mulai di hinggapi rasa paham oleh
pernyataan barusan.
Ternyata aku lebih
mengenali saudara saudarinya dibanding ia. Tak hanya sampai disitu, aku juga
hampir pingsan karena malu saat Nila dan Sisi diam diam mengamatiku sejak tadi
dengan tatapan serius penuh tanya alias ‘kepo’.
Mungkin karena takut ketahuan olehku, mereka tersenyum dengan agak berat
penuh misteri lalu segera ku balas senyum itu dengan senyuman yang lebih
misterius lagi. 3 jam serasa 3 menit, upacara penutupan kini telah selesai, dan
kami pun berbondong menaikki angkutan yang sudah menunggu untuk ditumpangi
sejak tadi. Seluruh peserta pulang membawa ‘puas’ namun aku tidak!
-***-
2
Dua
hari setelah kegiatan, kami kembali di kumpulkan panitia di sekretariat untuk follow up. Aku datang bersama dua best friend ku yang tak lain tak bukan
adalah Nila dan Sisi. Kami memang selalu setia pergi bersama bagai kembar tapi
tidak siam. Setibanya kami di sekertariat, aku terkejut antara percaya atau
tidak sadar. Pria yang katanya bernama Kak Samad itu sudah duluan berada di
dalam. Ia duduk dengan relaks bersandar di dinding sambil membaca buku sembari
menggenggam board maker berwarna hitam. Sementara di samping, ada papan tulis
yang tampak ceria bersanding dengannya.
Sepertinya ia akan
membawakan materi untuk kami pada malam ini, dan benar saja setelah berkenalan
dengan kami lewat moderator, ia pun langsung membawakan materi tentang motivasi
berorganisasi lengkap dengan cerita dari pengalamannya sendiri.
Diskusi berjalan
hangat. Ia menjelaskan materi dengan bahasa sederhana dengan gaya yang
komunikatif juga sedikit humoris agar mencairkan suasana. Aku mulai tertarik
dengan materi juga pembawanya, namun sayang malam tak merestui keinginan hati
untuk mengamatinya lagi meski hanya sebentar. Ketua Umum organisasi yang tak
lain adalah kakak sepupuku, memberi isyarat padaku untuk beranjak. Ia langsung
menghidupkan mesin roda dua fiz R nya yang bising lalu memaksaku pergi membawa
rasa itu lagi. Namun sebelum pulang, aku sempat berbincang empat mata dengan kak
samad meski dalam hitungan detik itu pun hanya untuk mengucap terima kasih atas
ilmu yang ia bagi.
Usai itu, aku
mohon pamit padanya dan semua penghuni sekret lalu melesat dan berlomba bersama
angin untuk sampai di kediamanku. Aku bertaruh dengan kesempatan untuk bisa
mengenalnya lebih jauh lagi. Mungkin saja nasib baik akan memihakku.
Pagi datang
kembali mengingatkan ku saat saat pertama kali aku melihatnya. Kemudian malam
membantuku mendekatinya. Kini aku tak sabar menanti pagi dan malam malam
berikutnya di mana aku bisa bersamanya dalam waktu yang lama. Ku lihat
kalender, hari ini tanggal 15 Januari.
Tak terasa kini
sudah 2 minggu setelah pergantian tahun baru. Entah mengapa hari ini aku dan
ketiga sahabatku Nila, Gina dan Yumi kompak ingin berkunjung ke rumah kak Ridho
usai JJS-an di sekitar rumah untuk sekedar silaturrahim. Setibanya di sana,
kembali aku terkejut melihat kak samad sedang berbincang bersama ke empat teman
lelaki kami termasuk kak ridho. Aku seperti mencium sesuatu yang kurang beres
dari gelagat kak ridho yang memanggil kami bertiga duduk bersama di kamarnya.
Di usirnya anak
lelaki dari kamar dan menyisakan kami berempat. Ia lalu bercerita panjang lebar
mengenai organisasi yang sedang kita naungi ini dan akhirnya sampailah pada
tujuan sebenarnya mengapa kami di harus terisolir di kamar pengap ini.
“Kalian tahu
tidak, Kak samad yang ke mari untuk memberikan materi organisasi kepada kalian itu?”
tanyanya kepada kami bertiga layaknya tersangka yang sedang di introgasi. Kami
membalas dengan menggeleng secara bersamaan.
Ia melanjutkan.
“Kak Samad ternyata menyukai salah satu dari kalian!“. Ucapannya lantas
mengerutkan kening kami berempat. “Siapakah ia?” seru kami dalam hati.
“Nila, Gina dan
Yumi... kalian bukanlah yang saya maksud, hehe“. Tegasnya sambil melihat satu
persatu dan kemudian segala tuduhan kini bertumpu padaku. Oh Tuhan, apakah
maksud kak ridho itu? Entah mengapa justifikasi itu telah mempengaruhi gejolak
nurani bercampur aduk antara bingung, kaget, tidak percaya, belum siap dll.
“Aku gak bisa kak!
Karena aku udah ada firza, lagi pula aku belum begitu kenal dengannya“. Jawabku
yang ternyata membingungkanku sendiri. Mungkin itu salah satu trik bagiku agar
bisa mendapat sedikit celah untuk berpikir.
Walau sebenarnya
hubunganku itu sudah renggang akibat LDR, namun itu satu satunya alasan yang bisa
menjadi senjata sebagai pengulur waktu.
“alaahh, aku juga
tahu kalian itu LDR an kan? Sudahlah... kamu jejaki saja waktumu sekarang. Lagi
pula kamu bisa dapat banyak pengetahuan darinya nanti. Dan kalaupun dia sudah
sampai di Jakarta, terserah. Hubungan kalian berlanjut atau tidak. Gimana?“
Rayunya kembali dan kali ini ia mendapat support
dari ketiga sahabatku.
Mereka berbalik ‘mengomporiku’
untuk menerima pernyataan rasa dari kak samad yang ternyata sudah menunggu
sejak tadi di balik pintu. Aku berpikir sejenak karena tak kuat menahan tekanan
dari mereka sejak beberapa menit tadi.
“kenapa bisa
secepat ini?”. Akhirnya dengan berbagai analisa dan pertimbangan, Ku putuskan
untuk menerimanya meski dengan kesungguhan yang belum seutuhnya. Wajah
kemenangan pun terlihat dari mereka berempat, dan perjanjian telah sah di
sepakati bersama.
Tak menunggu lama
lagi saat malam masih bertahta memakerkan kilauan bebintangannya, secepat kilat
ruangan mulai di kosongkan. Kini giliran anak perempuan yang di usir keluar
menyisakan aku sendiri menanti detik detik ‘penembakan’ (hah..? Mati dong..?)
hihi.
Selang beberapa
menit, terdengar suara pintu di buka dan udara terasa sesak saat dia berjalan
mendekatiku. Dengan berbekal senyuman ‘imitasi’ aku menyambutnya. Setelah
beberapa saat kami terkurung diam dalam kekakuan, ia pun mulai memecah suasana
dengan membuka pembicaraan. Ternyata ia langsung mengutarakan perasaannya lalu
meminta jawabku setelah itu.
“Kakak tidak tahu
mengapa bisa suka sama kamu ren. Tapi yang jelas dari awal kakak melihatmu di
sekret, kakak terpana dan langsung suka melihat kamu waktu memakai sweater dan
kerudung merah jambu“ ujarnya dengan raut misterius.
Sampai saat ini
aku masih terbilang bingung dengan sikapnya itu. Di tambah penuturannya barusan
yang to the point, apa adanya tapi masih
agak unpredictable. Aku pun
memberikan jawaban politis dengan kesan sedikit ‘jual mahal’ padanya.
“Sebenarnya aku
juga penasaran dengan kakak sejak kegiatan di kota batu tempo hari. Aku hanya
kagum namun belum merasa suka”. “Tapi jika kakak berkenan, biarkan hubungan
kita tumbuh seiring berjalannya waktu. Seperti penggalan ungkapan tere liye
yakni jangan terburu buru dalam mengatakan cinta. Karena kau bisa saja merusak
jalan ceritanya“. Ia pun menerima jawabanku dengan lapang tanpa membantahnya. Kami
keluar bersama dengan hati yang lega.
Hari ini meski
hubungan kami belum seperti yang di harapkan kak ridho serta 3 temanku itu, aku
tetap menggap ini momen bersejarah bagiku. Tanggal 15 januari dimana saat ia
menyatakan perasaanya padaku, maka aku akan selalu menjadikan tanggal itu sebagai
momen penting selain hari ulang tahunku.
-***-
3
Hubungan yang
berawal dari perkenalan yang begitu singkat dengan sedikit ‘paksaan’ itu, kini
berjalan harmoni ibarat alunan nada instrumen yang mencipta irama naik turun
serta warna warni keindahan nuansa. Kak Samad selalu menghubungiku hampir
setiap hari di sela kesibukan akademik dan organisasinya. Meski begitu ia melarangku
menghubunginya sebelum ia yang menghubungiku duluan. Mungkin karena ia takut
aku mengganggu kesibukannya atau mungkin karena ada hal lain, aku lantas
mengiakan pintanya tanpa syarat apa apa.
Hubungan kami
telah berjalan mulus selama 2 bulan. Meski kami LDR an karena dia harus kembali
ke Jakarta, namun komunikasi antara kami tetap intens. Bulan maret merupakan
bulan kelahirannya. Aku memberi ucapan selamat ulang tahun via telpon dan
meminta maaf belum bisa berkunjung ke Jakarta. Dia pun memakluminya. Aku sangat
senang karena sepertinya dia adalah tipe penyayang juga pengertian. Hubungan
kami yang semakin hari terasa lebih mesra berbanding terbalik dengan hubunganku
yang sekarat bersama Firza. Ia rupanya sudah mengetahui hubunganku dengan kak samad,
tapi tidak di hiraukannya. Ia tetap mencintaiku katanya.
“Ren, aku tahu
sekarang kamu lebih memilih samad dari pada aku. Tapi aku tetap sayang sama
kamu ren. Plis jangan tinggalin aku.. “ pinta firza padaku.
“Maaf za, awalnya
aku terpaksa menerima kak samad, namun sepertinya aku di buat enggan untuk
melepaskan cintnya. Mungkin perasaan ku terlalu labil terhadap dilema ini, tapi
hubungan kita ku rasa tak mungkin bisa berlanjut lagi. Sekali lagi maafkan aku
firza... “ aku membalas pernyataannya. Pebicaraan kami lewat telpon kini telah
berakhir dengan kepasrahan mendalam oleh
firza,sedang air mata deras jatuh membasahi bumi tinggalkan sepasang mata yang
basah ini. Sungguh ku akui sayang ku pada firza masih sedikit menyisa, namun
cinta tak boleh serakah. Ia harus adil dalam menentukkan pilihan. Dan aku
memilih kak samad sebagai pujaan hatiku.
Membalas ucapan ulang
tahunku padanya waktu itu kini di bulan April, kak samad berjanji untuk
memberikan ucapan yang sama untukku. ia akan datang kembali menemui ku dan
langsung mengucapnya di hadapanku, disini sebagai bukti besarnya perasaan kak samad
padaku. Tentu aku bahagia mendengarnya, aku sungguh tak sabar menunggu hari
kelahiranku di bulan april ini, karena seseorang yang walaupun belum menjadi
kekasih ku namun hubungan kita sudah semakin dekat itu akan datang seraya
memberi kejutan di hari spesialku.
Ternyata dari pagi
hingga malam di hari ultahku, kak samad sama sekali belum menampakkan batang
hidungnya. Aku bertanya pada malam dan bulan apakah janji manisnya itu akan
berbuah manis juga? Ataukah ia masih terkurung dalam jeruji kesibukannya di
sana. Telpon dan sms ku tak satupun di balas olehnya. Semakin terasa curiga
kini kian merekah. Aku lalu memutuskan untuk melepas keresahan ku di luar rumah
bersama teman teman.
Sulit terasa bibir
melahirkan sebuah kalimat apapun serta otak yang mati suri karena di paksa
berpikir sesuatu hal mustahil menjadi normal kembali. Aku menafikkan apa yang
ku lihat sendiri dengan ke dua mataku seakan tak percaya bahwa kak samad
berboncengan dengan perempuan lain. Di sini, di kota Malang tempatku memuja
waktu untuk memohon di pertemukan dengannya. Ia berkilah saat ku tanyai siapa
perempuan itu keesokkan harinya.
“dia itu Kaila!
Dia hanya mantan kekasihku. Ia kesini karena ada tugas KKN dari kampusnya. Aku
hanya membantu mengantanya keliling kota Malang. Aku minta maaf dek, kami Cuma
berteman, tidak lebih dari itu“. Jelasnya mengemis maafku. Dan di sertai dengan
beribu alasan kemudian sebagai tameng baginya, tak membuatku luluh.
“Heh, dengan
bangganya kamu mengatakan mantan kekasih? Manusia cerdas seperti apa yang tega
mengajak jalan mantan kekasihnya di hari ultah orang yang sebenarnya layak
menjadi kekasihmu kak?” aku membatin.
Tentu sama sekali
tak ku hiraukan bualan itu, karena kini aku menemukan rasionalisasi baku yang
terjadi yakni mengapa ia lebih memilih jalan bersama mantan kekasihnya di hari
yang sama dengan hari ulang tahunku? Jelas ia lebih memilih bersama wanita yang
belum bisa di lupakannya, sedang aku harus mengorbankan orang yang lebih
menyayangiku hanya untuk orang seperti dia. Orang yang nyaris saja menjadi
kekasih ku.
Sungguh malam yang membuat kita bersama
kemarin telah berubah di hari ini,
karena aku harus menyudahi semua bersamanya. Bersama kak samad dan semua cerita
kita, saat itu juga. Aku berlalu bersama luka dan air mata,menatap malam yang
sembuyikan rahasia. Hanya mereka sahabat baikku Nila, Sisi dan Gyna tempat
penampung semua cerita cerita ku. Hanya merekalah yang mampu mengerti dan
berupaya menyembuhkan luka hatiku. Dan akhirnya aku mampu berdiri kembali saat
sebelumnya tersungkur.
-***-
4
Setahun
berlalu, meski aku masih muak membayangkan kejadian yang sudah berlalu kemarin,
tapi entah mengapa lambat laun ia seakan memudar seiring kadar kerinduan yang
naik pada kak samad yang tak ku ketahui mengapa bisa terjadi. Di satu sisi aku semakin
tak ingin menghiraukanya lagi, namun di sisi lain aku juga semakin merindunya
dalam penantian yang ku benci ini.
Aku
terbangun karena terusik getar dan nada dering handphone nokia di samping
kepalaku.
“Huh..
siapa lagi ini? mengganggu saja pagi pagi.. “ gumamku sambil melihat layar HP
berisikan nomor baru tanpa nama. Sambil menatap jam dinding terpampang jarum
pendek di arah 1 dan jarum panjangnya di 12, ku genggam HP ku dengan ragu
sembari ku pencet tombol JAWAB lalu
mendekatkannya ke telinga kiri dan...
“Hallo... ini
siapa?“ Suaraku serak dan berat karena masih di kuasai kantuk hebat.
“Assalamu’alaikum
dek, gimana kabar kamu?” jawab suara yang familiar namun sudah tak terdengar
lagi beberapa lama.
Lagi
lagi aku di buat terkejut kali ini oleh suara itu lagi. Kak samad menelponku
menanyakan kabar dan mengajak bercerita. Ia seakan lupa dengan luka yang
bersarang di tubuhku. Namun aku juga seakan lupa dengan luka tertusuk paku yang
meski sudah di cabutnya, namun masih menyisakan bekas belum terhapus. Kami
berbincang mesra laksana kembali menjadi sepasang kekasih.
Entah karena
kantuk yang ku derita, semua berjalan sesuai rencananya karena menganggap aku
berhasil memaafkan kesalahannya. Tak bisa di pungkiri lagi kalkulasi rasa rindu
kini mencapai klimaks. Ia memaksaku untuk kembali memaafkan semua setelah apa
yang di lakukan tempo hari.
Aku pun memberikan
apa yang ia minta dengan lapang dada berharap pagi ini masih berbaik hati untuk
memberi kesempatan untuk aku dan dia. Rupanya ia sangat pandai melihat peluang
dalam suasana dimana ketidak brdayaanku pada kondisi seperti ini akan mudah
menerimanya kembali.
-***-
Jakarta 2013
5
Aku
memutuskan untuk menemuinya di Jakarta
saat libur usai Ujian Akhir Semester di bulan februari. Sahabatku Gina ikut
bersamaku. Kami di jemput kak samad di stasiun senen, lalu kemudian di antarnya
menuju kosannya di kawasan Jakarta Timur dan akan menetap di sana selama kami
di Kota ini. Pagi demi pagi ternyata memang suka rela menyajikan canda tawa riang
bersama sama.
Aku bersama Gina
di bawa pergi oleh kak Samad berjalan mengelilingi lokasi lokasi istimewa di
jakarta. Monas, TMII, Taman Suropati, Bundaran HI, hingga berbagai tempat
hiburan lainnya sudah kami jajal bertiga. Bahagia kini menyelimuti ku. Akhirnya
aku bisa bersama kembali dengannya setelah lama bercumbu dengan bayangnya.
Tapi
setelah damainya pagi kini di lengserkan oleh ketegangan malam, aku temukan
paku itu kembali. Duri mawar kini menusuk dan tertancap satu per satu dengan
perlahan. Aku memaksa kak samad untuk membuka fb nya dengan alasan ingin
melihat fb ku yang terkunci akibat ulah tangan tangan tidak bertanggung jawab.
Semula aku hanya ingin melihat lihat isi dari fb lelaki kesayanganku ini dari
HP ku namun kembali aku di buat lemah lunglai oleh berbagai chat box bersama
sejumlah perempuan lain dari berbagai daerah. Aktifitasku membuka akunnya belum
di ketahui oleh kak samad di karenakan ia pamit ke kamar mandi sebentar. Namun
sekembalinya, ia heran melihat sikapku berubah drastis menjadi jutek dan sinis
padanya.
“Kamu kenapa dek?
... marah karena belum di belikan makan ya ? maaf, nanti kakak belikan.”
“Tidak usah!
Tolong belikan saja tiket kereta ke malang untuk aku dan gina. Kami ingin
meninggalkan Jakarta secepatnya! “ wajah ku mulai merah dan jika saja amarahku
tidak membuncah, maka aku sudah terduduk dan menangis di sudut kosanya.
“Lho, kenapa
terburu buru? Masuk libur kan masih seminggu lagi? “
“Tidak!
Kami belum mengisi KRS yang besok adalah terakhir waktunya “. Sambil menahan
gejolak emosi meronta nurani, ku paksa gina untuk bangkit dan mengemas pakaian
kami berdua. Aku beranjak ke kamar mandi dengan berbagai kontroversi di hati. Nampaknya
ia pun melihat butiran air mata yang baru ingin keluar. Dia mendekat namun
langkahnya terhenti saat pintu ku tutup dengan suara bagai gemuruh suara guntur
di langit.
-***-
6
Laju Bus Kota yang kami tumpangi
melesat cepat secepat keinginanku untuk menyudahi semuanya saat ini, menembus
keyakinan yang mulai rapuh, mendobrak keraguan untuk mempertahankan
hubungan yang tengah skarat. Aku tersenyum
menatap ke luar jendela, namun batin ku masih terdera oleh air mata.
Ku
ulangi pertanyaan pertanyaan itu lagi bahwa mengapa aku masih saja memberi
kesempatan untuk dicintai olehnya yang selalu memberikan mawar berduri padaku?
Apa arti dari semua ini. Mengapa terus dan terus lagi aku merindunya, ingin
tetap tinggal meski kadang aku tak tahu ia akan pergi dan tak akan kembali
lagi. Sungguh siang telah menggantikan kehangatan pagi dan membuat kering serta
kerontangnya hati.
Akhirnya kamipun tiba di tempat
tujuan. Lega tampak menjemput ku dan ingin mengantarku ke depan pintu
perpisahan lalu berjumpa dengan pintu pintu yang sama esok hari. Semoga malam
hari ini sedikit berbaik hati hanya untuk sekedar meminjamkan bahunya untukku.
Untuk bersandar, menangis dan mencurahkan semua isi di hati. Kami berpisah di
sini. Di sore hari, dimana batas pemisah antara pagi, siang dan malam.
Perbatasan yang memberi jeda bagi rutinitas penentuan akan malam dan pagi. Ya,
kami berpisah, tanpa ada kata berpisah. Semua berjalan begitu saja, tanpa ada
pesan untuk kembali berjumpa.
Di dalam kereta Gina masih saja
menghiburku untuk menghentikan semua kepedihanku. Ia terlalu menyayangiku dan
tak ingin aku semakin terlarut di alam kesedihan. Ia meyakinkan bahwa semua
akan bahagia pada waktunya. Kereta semakn terpacu menuju tempt asalku.
“Huh, Malang... Kampus... Rumah...
Nisa dan Sisi... aku terlalu rindu kalian semua... perjalanan yang seakan
berjalan lambat ini seakan membuatku ingin terbang bersama sayap yang terluka
dan hampir patah ini menuju kesana. Aku ingin bercerita tentang hampa pada
mereka” hiburku di dalam hati. Masih di saksikan malam yang terus menatapku
dengan mata bersimbah kebencian lalu ingin segera membunuh pagi esoknya lagi.
Dan aku semakin yakin pada keyakinanku akan pagi yang sebentar lagi akan terbunuh
oleh malam. Akan penantian yang terbunuh oleh harapan.
-***-
7
Dua minggu setibanya di Malang. Hari
hari yang indah benar saja telah menggantikan kegalauan kemarin. Kini pagi
terlahir kembali dan membawa Kak Pinu kembali padaku.
Kak
pinu adalah seorang pria idaman kebanyakan wanita. Ia cool, pintar, ramah serta
penuh karisma. Meski begitu, ia tidak begitu suka dekat dengan perempuan, entah
mengapa aku masih bertanya tanya mengapa ia hendak memilihku untuk di jadikan
kekasihnya. Hubungan kami pun sempat kandas beberapa lalu saat aku
memutuskannya untuk bertemu kak samad di Jakarta.
Namun
kini aku keliru, ternyata cinta sejati begitu dekat denganku. Disini, di kota
yang ku cinta selama ini. Yaitu dia, Kak pinu ku tercinta. Cinta yang semula tertunda
kini tumbuh seutuhnya. Tak lama kemudian kami menikah dan membina sebuah
keluarga kecil di dalam rumah.
Senyum
dan tawa, suka dan bahagia segalanya
adalah hadiah pemberiannya. Kini keraguanku terjawab sudah. Bahwa ketika
pagi terbunuh malam di hari ini. Maka esok ia akan terlahir kembali dengan jiwa
yang berbeda namun cintanya tetap sama.
-SEKIAN-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar