Senin, 11 Januari 2016

Malam Membunuh Pagi

Malang 2012

1
Hangat matahari pagi menyambut kegiatan pertama ku berorganisasi di luar aktifitas kampus tahun ini. Ini adalah organisasi pertama dari daerah asalku yang baru aku ikuti karena selain menambah teman, aku juga ingin menambah wawasan organisasi plus pengetahuan mengenai daerah dan mungkin bonusnya... ehemm... ehemm Hehe.

Iren adalah panggilanku, Mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika di salah satu perguruan tinggi swasta terbaik di Kota Malang. Aku terlahir sebagai sesosok perempuan yang ‘sok’ dewasa di usia 18 tahun namun masih memiliki sifat manja, begitulah pendapat dari sahabat sahabatku Nila dan Sisi.
Mereka sahabat terbaikku di dunia dan mungkin juga di akhirat (hehe), karena merekalah yang paling mengerti siapa aku melebihi diriku sendiri. Kami bertiga sudah akrab sejak mengenakan seragam putih abu abu dan kini kami juga masuk bersamaan di organisasi ini.

Kata orang sih aku lumayan cantik (huh lumayan L) dengan wajah oriental dan selalu mengenakan kerudung. Meski agak gemuk, tapi aku tetap percaya diri sesuai jargon “kurus tanda tak mampu” uuppsss, hehe.

Selain mereka, ada salah satu sahabat baikku yang sudah ku anggap saudaraku sendiri. Gina namanya. Tapi selama di Kota Malang ini, kami susah untuk bersua meski pernah serumah waktu pertama menginjakkan kaki di kota ‘romantis’ ini. Karena aku dan Gina jarang ketemu, paling paling Cuma bisa say “hello” lewat sms, fb, line atau kadang kadang curhat lewat telpon dari jam 9 malam sampai pagi dengan berbekal Talk Mania (huft).

Baru sekarang ini lagi aku bisa melihat wajah manis dengan mata belo’ itu lagi karena Gina juga ikut kegiatan masa orientasi di organisasi ini.

Kami antusias mengikuti kegiatan selama tiga hari mulai dari hari pertama sampai hari terakhir. Semua materi mudah kami cerna, dari pemateri pemateri yang cerdas dan ada beberapa yang menarik alias handsome and cool. Meski demikian belum satu pun dari mereka yang mampu menginveksi hatiku dengan ‘virus’ merah jambu. Kendati pun aku tetap mengikuti event ini dengan semangat positif hingga selesai.

Tak terasa waktu telah mengizinkan hari untuk menyudahi pertemuan kami. Para peserta yang terdiri dari mahasiswa mahasiswi di berbagai kampus se Kota Malang segera berkumpul untuk melaksanakan closing ceremony yang di pandu panitia sebagai pertanda usainya rutinitas kegiatan selama tiga hari ini. Yess! sesi ini adalah yang paling di nanti oleh kami karena sudah cukup puas dan lelah menghadapi berbagai tes seperti uji fisik, akal serta mental sebagai bekal untuk menghadapi masalah masalah di masa datang.

Acara baru di mulai, suasana terasa khidmat, sambil menyimak berbagai sambutan juga petuah terakhir yang di sampaikan oleh ketua panitia, iseng dua bola mata berlari lari kecil di sekeliling ruangan sekedar mencari pemandangan segar.

Tiba tiba ada yang mengusik perhatianku saat melihat sesosok pria dengan kemeja biru tua berbadan tegak dan agak gemuk duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga gedung sambil menatap tajam ke arah pembicara.

Bukannya aku terkesima atau terpukau melihatnya, namun menjadi ‘ganjil’ bagiku karena selama tiga hari ini barulah aku melihat orang itu dengan wajah tegas serta sorot mata tajam namun tetap bersahaja. Tak lama aku bereksplorasi bersama jutaan sel sel di otak hanya untuk mencari hipotesa yang paling mendekati rasional tentang siapa pria itu, jelaslah sudah jawaban yang ku dapati kemudian. Jawaban itu datang dari penghormatan moderator 

“Yang saya hormati saudara samad selaku perwakilan organisasi daerah mahasiswa di Jakarta ...“. Oh ya, ternyata ia adalah undangan yang mungkin baru sampai dari Jakarta pagi tadi, dan belum sempat memperkenalkan diri kepada kami para peserta.

Aku semakin penasaran dengannya, mungkin saja banyak pengalaman yang bisa ia ceritakan padaku karena sepertinya ia terlihat berpengalaman dengan dunia organisasi. Hal itu sangat kontras terlihat dari sikap dan pembawaanya nya yang cool tapi tetap berwibawa.

“Lelaki yang duduknya bersandar itu siapa bang?“ tanyaku kepada kak Ridho salah satu panitia yang duduk tepat di sampingku. Mungkin karena ada ikatan persaudaraan yang erat antara kami, aku lupa jika ia adalah panitia yang seharusnya tidak boleh ku ajak bicara hingga seluruh kegiatan usai nanti.

“Kamu ga Kenal? Itu Kak samad mahasiswa dari Jakarta. Di kampung kan rumahnya satu komplek dengan kita ren, Cuma dianya saja yang tidak tinggal bersama orang tuanya karena dari kecil sudah di angkat oleh kakak ibunya“. Penjelasan yang agak mengagetkanku dan teman temanku yang juga terlihat menyimak cerita kak Ridho. Aku hanya menggeleng tanda belum menemukan jawaban yang memuaskan dahagaku.

“Dia itu adiknya Kak Iksan, Kakanya Rahma, Said dan Sulis“ Tambahnya ditail. Karena merasa belum bisa memenuhi hasrat keingin tahuanku yang tinggi, kak Ridho lalu memalingkan kembali perhatiannya ke depan. Tapi aku mulai di hinggapi rasa paham oleh pernyataan barusan.

Ternyata aku lebih mengenali saudara saudarinya dibanding ia. Tak hanya sampai disitu, aku juga hampir pingsan karena malu saat Nila dan Sisi diam diam mengamatiku sejak tadi dengan tatapan serius penuh tanya alias ‘kepo’. Mungkin karena takut ketahuan olehku, mereka tersenyum dengan agak berat penuh misteri lalu segera ku balas senyum itu dengan senyuman yang lebih misterius lagi. 3 jam serasa 3 menit, upacara penutupan kini telah selesai, dan kami pun berbondong menaikki angkutan yang sudah menunggu untuk ditumpangi sejak tadi. Seluruh peserta pulang membawa ‘puas’ namun aku tidak!
-***-

2
     Dua hari setelah kegiatan, kami kembali di kumpulkan panitia di sekretariat untuk follow up. Aku datang bersama dua best friend ku yang tak lain tak bukan adalah Nila dan Sisi. Kami memang selalu setia pergi bersama bagai kembar tapi tidak siam. Setibanya kami di sekertariat, aku terkejut antara percaya atau tidak sadar. Pria yang katanya bernama Kak Samad itu sudah duluan berada di dalam. Ia duduk dengan relaks bersandar di dinding sambil membaca buku sembari menggenggam board maker berwarna hitam. Sementara di samping, ada papan tulis yang tampak ceria bersanding dengannya.

Sepertinya ia akan membawakan materi untuk kami pada malam ini, dan benar saja setelah berkenalan dengan kami lewat moderator, ia pun langsung membawakan materi tentang motivasi berorganisasi lengkap dengan cerita dari pengalamannya sendiri.

Diskusi berjalan hangat. Ia menjelaskan materi dengan bahasa sederhana dengan gaya yang komunikatif juga sedikit humoris agar mencairkan suasana. Aku mulai tertarik dengan materi juga pembawanya, namun sayang malam tak merestui keinginan hati untuk mengamatinya lagi meski hanya sebentar. Ketua Umum organisasi yang tak lain adalah kakak sepupuku, memberi isyarat padaku untuk beranjak. Ia langsung menghidupkan mesin roda dua fiz R nya yang bising lalu memaksaku pergi membawa rasa itu lagi. Namun sebelum pulang, aku sempat berbincang empat mata dengan kak samad meski dalam hitungan detik itu pun hanya untuk mengucap terima kasih atas ilmu yang ia bagi.

Usai itu, aku mohon pamit padanya dan semua penghuni sekret lalu melesat dan berlomba bersama angin untuk sampai di kediamanku. Aku bertaruh dengan kesempatan untuk bisa mengenalnya lebih jauh lagi. Mungkin saja nasib baik akan memihakku.

Pagi datang kembali mengingatkan ku saat saat pertama kali aku melihatnya. Kemudian malam membantuku mendekatinya. Kini aku tak sabar menanti pagi dan malam malam berikutnya di mana aku bisa bersamanya dalam waktu yang lama. Ku lihat kalender, hari ini tanggal 15 Januari.

Tak terasa kini sudah 2 minggu setelah pergantian tahun baru. Entah mengapa hari ini aku dan ketiga sahabatku Nila, Gina dan Yumi kompak ingin berkunjung ke rumah kak Ridho usai JJS-an di sekitar rumah untuk sekedar silaturrahim. Setibanya di sana, kembali aku terkejut melihat kak samad sedang berbincang bersama ke empat teman lelaki kami termasuk kak ridho. Aku seperti mencium sesuatu yang kurang beres dari gelagat kak ridho yang memanggil kami bertiga duduk bersama di kamarnya.

Di usirnya anak lelaki dari kamar dan menyisakan kami berempat. Ia lalu bercerita panjang lebar mengenai organisasi yang sedang kita naungi ini dan akhirnya sampailah pada tujuan sebenarnya mengapa kami di harus terisolir di kamar pengap ini.

“Kalian tahu tidak, Kak samad yang ke mari untuk memberikan materi organisasi kepada kalian itu?” tanyanya kepada kami bertiga layaknya tersangka yang sedang di introgasi. Kami membalas dengan menggeleng secara bersamaan.

Ia melanjutkan. “Kak Samad ternyata menyukai salah satu dari kalian!“. Ucapannya lantas mengerutkan kening kami berempat. “Siapakah ia?” seru kami dalam hati.

“Nila, Gina dan Yumi... kalian bukanlah yang saya maksud, hehe“. Tegasnya sambil melihat satu persatu dan kemudian segala tuduhan kini bertumpu padaku. Oh Tuhan, apakah maksud kak ridho itu? Entah mengapa justifikasi itu telah mempengaruhi gejolak nurani bercampur aduk antara bingung, kaget, tidak percaya, belum siap dll.

“Aku gak bisa kak! Karena aku udah ada firza, lagi pula aku belum begitu kenal dengannya“. Jawabku yang ternyata membingungkanku sendiri. Mungkin itu salah satu trik bagiku agar bisa mendapat sedikit celah untuk berpikir.

Walau sebenarnya hubunganku itu sudah renggang akibat LDR, namun itu satu satunya alasan yang bisa menjadi senjata sebagai pengulur waktu.

“alaahh, aku juga tahu kalian itu LDR an kan? Sudahlah... kamu jejaki saja waktumu sekarang. Lagi pula kamu bisa dapat banyak pengetahuan darinya nanti. Dan kalaupun dia sudah sampai di Jakarta, terserah. Hubungan kalian berlanjut atau tidak. Gimana?“ Rayunya kembali dan kali ini ia mendapat support dari ketiga sahabatku.

Mereka berbalik ‘mengomporiku’ untuk menerima pernyataan rasa dari kak samad yang ternyata sudah menunggu sejak tadi di balik pintu. Aku berpikir sejenak karena tak kuat menahan tekanan dari mereka sejak beberapa menit tadi.

“kenapa bisa secepat ini?”. Akhirnya dengan berbagai analisa dan pertimbangan, Ku putuskan untuk menerimanya meski dengan kesungguhan yang belum seutuhnya. Wajah kemenangan pun terlihat dari mereka berempat, dan perjanjian telah sah di sepakati bersama.

Tak menunggu lama lagi saat malam masih bertahta memakerkan kilauan bebintangannya, secepat kilat ruangan mulai di kosongkan. Kini giliran anak perempuan yang di usir keluar menyisakan aku sendiri menanti detik detik ‘penembakan’ (hah..? Mati dong..?) hihi.

Selang beberapa menit, terdengar suara pintu di buka dan udara terasa sesak saat dia berjalan mendekatiku. Dengan berbekal senyuman ‘imitasi’ aku menyambutnya. Setelah beberapa saat kami terkurung diam dalam kekakuan, ia pun mulai memecah suasana dengan membuka pembicaraan. Ternyata ia langsung mengutarakan perasaannya lalu meminta jawabku setelah itu.

“Kakak tidak tahu mengapa bisa suka sama kamu ren. Tapi yang jelas dari awal kakak melihatmu di sekret, kakak terpana dan langsung suka melihat kamu waktu memakai sweater dan kerudung merah jambu“ ujarnya dengan raut misterius.

Sampai saat ini aku masih terbilang bingung dengan sikapnya itu. Di tambah penuturannya barusan yang to the point, apa adanya tapi masih agak unpredictable. Aku pun memberikan jawaban politis dengan kesan sedikit ‘jual mahal’ padanya.

“Sebenarnya aku juga penasaran dengan kakak sejak kegiatan di kota batu tempo hari. Aku hanya kagum namun belum merasa suka”. “Tapi jika kakak berkenan, biarkan hubungan kita tumbuh seiring berjalannya waktu. Seperti penggalan ungkapan tere liye yakni jangan terburu buru dalam mengatakan cinta. Karena kau bisa saja merusak jalan ceritanya“. Ia pun menerima jawabanku dengan lapang tanpa membantahnya. Kami keluar bersama dengan hati yang lega.

Hari ini meski hubungan kami belum seperti yang di harapkan kak ridho serta 3 temanku itu, aku tetap menggap ini momen bersejarah bagiku. Tanggal 15 januari dimana saat ia menyatakan perasaanya padaku, maka aku akan selalu menjadikan tanggal itu sebagai momen penting selain hari ulang tahunku.
-***-

3
Hubungan yang berawal dari perkenalan yang begitu singkat dengan sedikit ‘paksaan’ itu, kini berjalan harmoni ibarat alunan nada instrumen yang mencipta irama naik turun serta warna warni keindahan nuansa. Kak Samad selalu menghubungiku hampir setiap hari di sela kesibukan akademik dan organisasinya. Meski begitu ia melarangku menghubunginya sebelum ia yang menghubungiku duluan. Mungkin karena ia takut aku mengganggu kesibukannya atau mungkin karena ada hal lain, aku lantas mengiakan pintanya tanpa syarat apa apa.

Hubungan kami telah berjalan mulus selama 2 bulan. Meski kami LDR an karena dia harus kembali ke Jakarta, namun komunikasi antara kami tetap intens. Bulan maret merupakan bulan kelahirannya. Aku memberi ucapan selamat ulang tahun via telpon dan meminta maaf belum bisa berkunjung ke Jakarta. Dia pun memakluminya. Aku sangat senang karena sepertinya dia adalah tipe penyayang juga pengertian. Hubungan kami yang semakin hari terasa lebih mesra berbanding terbalik dengan hubunganku yang sekarat bersama Firza. Ia rupanya sudah mengetahui hubunganku dengan kak samad, tapi tidak di hiraukannya. Ia tetap mencintaiku katanya.

“Ren, aku tahu sekarang kamu lebih memilih samad dari pada aku. Tapi aku tetap sayang sama kamu ren. Plis jangan tinggalin aku.. “ pinta firza padaku.

“Maaf za, awalnya aku terpaksa menerima kak samad, namun sepertinya aku di buat enggan untuk melepaskan cintnya. Mungkin perasaan ku terlalu labil terhadap dilema ini, tapi hubungan kita ku rasa tak mungkin bisa berlanjut lagi. Sekali lagi maafkan aku firza... “ aku membalas pernyataannya. Pebicaraan kami lewat telpon kini telah berakhir  dengan kepasrahan mendalam oleh firza,sedang air mata deras jatuh membasahi bumi tinggalkan sepasang mata yang basah ini. Sungguh ku akui sayang ku pada firza masih sedikit menyisa, namun cinta tak boleh serakah. Ia harus adil dalam menentukkan pilihan. Dan aku memilih kak samad sebagai pujaan hatiku.

Membalas ucapan ulang tahunku padanya waktu itu kini di bulan April, kak samad berjanji untuk memberikan ucapan yang sama untukku. ia akan datang kembali menemui ku dan langsung mengucapnya di hadapanku, disini sebagai bukti besarnya perasaan kak samad padaku. Tentu aku bahagia mendengarnya, aku sungguh tak sabar menunggu hari kelahiranku di bulan april ini, karena seseorang yang walaupun belum menjadi kekasih ku namun hubungan kita sudah semakin dekat itu akan datang seraya memberi kejutan di hari spesialku.

Ternyata dari pagi hingga malam di hari ultahku, kak samad sama sekali belum menampakkan batang hidungnya. Aku bertanya pada malam dan bulan apakah janji manisnya itu akan berbuah manis juga? Ataukah ia masih terkurung dalam jeruji kesibukannya di sana. Telpon dan sms ku tak satupun di balas olehnya. Semakin terasa curiga kini kian merekah. Aku lalu memutuskan untuk melepas keresahan ku di luar rumah bersama teman teman.

Sulit terasa bibir melahirkan sebuah kalimat apapun serta otak yang mati suri karena di paksa berpikir sesuatu hal mustahil menjadi normal kembali. Aku menafikkan apa yang ku lihat sendiri dengan ke dua mataku seakan tak percaya bahwa kak samad berboncengan dengan perempuan lain. Di sini, di kota Malang tempatku memuja waktu untuk memohon di pertemukan dengannya. Ia berkilah saat ku tanyai siapa perempuan itu keesokkan harinya.

“dia itu Kaila! Dia hanya mantan kekasihku. Ia kesini karena ada tugas KKN dari kampusnya. Aku hanya membantu mengantanya keliling kota Malang. Aku minta maaf dek, kami Cuma berteman, tidak lebih dari itu“. Jelasnya mengemis maafku. Dan di sertai dengan beribu alasan kemudian sebagai tameng baginya, tak membuatku luluh.

“Heh, dengan bangganya kamu mengatakan mantan kekasih? Manusia cerdas seperti apa yang tega mengajak jalan mantan kekasihnya di hari ultah orang yang sebenarnya layak menjadi kekasihmu kak?” aku membatin.

Tentu sama sekali tak ku hiraukan bualan itu, karena kini aku menemukan rasionalisasi baku yang terjadi yakni mengapa ia lebih memilih jalan bersama mantan kekasihnya di hari yang sama dengan hari ulang tahunku? Jelas ia lebih memilih bersama wanita yang belum bisa di lupakannya, sedang aku harus mengorbankan orang yang lebih menyayangiku hanya untuk orang seperti dia. Orang yang nyaris saja menjadi kekasih ku.

Sungguh malam yang membuat kita bersama kemarin  telah berubah di hari ini, karena aku harus menyudahi semua bersamanya. Bersama kak samad dan semua cerita kita, saat itu juga. Aku berlalu bersama luka dan air mata,menatap malam yang sembuyikan rahasia. Hanya mereka sahabat baikku Nila, Sisi dan Gyna tempat penampung semua cerita cerita ku. Hanya merekalah yang mampu mengerti dan berupaya menyembuhkan luka hatiku. Dan akhirnya aku mampu berdiri kembali saat sebelumnya tersungkur.

-***-

4
      Setahun berlalu, meski aku masih muak membayangkan kejadian yang sudah berlalu kemarin, tapi entah mengapa lambat laun ia seakan memudar seiring kadar kerinduan yang naik pada kak samad yang tak ku ketahui mengapa bisa terjadi. Di satu sisi aku semakin tak ingin menghiraukanya lagi, namun di sisi lain aku juga semakin merindunya dalam penantian yang ku benci ini.

      Aku terbangun karena terusik getar dan nada dering handphone nokia di samping kepalaku.

      “Huh.. siapa lagi ini? mengganggu saja pagi pagi.. “ gumamku sambil melihat layar HP berisikan nomor baru tanpa nama. Sambil menatap jam dinding terpampang jarum pendek di arah 1 dan jarum panjangnya di 12, ku genggam HP ku dengan ragu sembari ku pencet tombol  JAWAB lalu mendekatkannya ke telinga kiri dan...
           
“Hallo... ini siapa?“ Suaraku serak dan berat karena masih di kuasai kantuk hebat.

“Assalamu’alaikum dek, gimana kabar kamu?” jawab suara yang familiar namun sudah tak terdengar lagi beberapa lama.

      Lagi lagi aku di buat terkejut kali ini oleh suara itu lagi. Kak samad menelponku menanyakan kabar dan mengajak bercerita. Ia seakan lupa dengan luka yang bersarang di tubuhku. Namun aku juga seakan lupa dengan luka tertusuk paku yang meski sudah di cabutnya, namun masih menyisakan bekas belum terhapus. Kami berbincang mesra laksana kembali menjadi sepasang kekasih.

Entah karena kantuk yang ku derita, semua berjalan sesuai rencananya karena menganggap aku berhasil memaafkan kesalahannya. Tak bisa di pungkiri lagi kalkulasi rasa rindu kini mencapai klimaks. Ia memaksaku untuk kembali memaafkan semua setelah apa yang di lakukan tempo hari.

Aku pun memberikan apa yang ia minta dengan lapang dada berharap pagi ini masih berbaik hati untuk memberi kesempatan untuk aku dan dia. Rupanya ia sangat pandai melihat peluang dalam suasana dimana ketidak brdayaanku pada kondisi seperti ini akan mudah menerimanya kembali.
-***-
Jakarta 2013

5
        Aku memutuskan untuk menemuinya di  Jakarta saat libur usai Ujian Akhir Semester di bulan februari. Sahabatku Gina ikut bersamaku. Kami di jemput kak samad di stasiun senen, lalu kemudian di antarnya menuju kosannya di kawasan Jakarta Timur dan akan menetap di sana selama kami di Kota ini. Pagi demi pagi ternyata memang suka rela menyajikan canda tawa riang bersama sama.

Aku bersama Gina di bawa pergi oleh kak Samad berjalan mengelilingi lokasi lokasi istimewa di jakarta. Monas, TMII, Taman Suropati, Bundaran HI, hingga berbagai tempat hiburan lainnya sudah kami jajal bertiga. Bahagia kini menyelimuti ku. Akhirnya aku bisa bersama kembali dengannya setelah lama bercumbu dengan bayangnya.

     Tapi setelah damainya pagi kini di lengserkan oleh ketegangan malam, aku temukan paku itu kembali. Duri mawar kini menusuk dan tertancap satu per satu dengan perlahan. Aku memaksa kak samad untuk membuka fb nya dengan alasan ingin melihat fb ku yang terkunci akibat ulah tangan tangan tidak bertanggung jawab. Semula aku hanya ingin melihat lihat isi dari fb lelaki kesayanganku ini dari HP ku namun kembali aku di buat lemah lunglai oleh berbagai chat box bersama sejumlah perempuan lain dari berbagai daerah. Aktifitasku membuka akunnya belum di ketahui oleh kak samad di karenakan ia pamit ke kamar mandi sebentar. Namun sekembalinya, ia heran melihat sikapku berubah drastis menjadi jutek dan sinis padanya.
           
“Kamu kenapa dek? ... marah karena belum di belikan makan ya ? maaf, nanti kakak belikan.”
           
“Tidak usah! Tolong belikan saja tiket kereta ke malang untuk aku dan gina. Kami ingin meninggalkan Jakarta secepatnya! “ wajah ku mulai merah dan jika saja amarahku tidak membuncah, maka aku sudah terduduk dan menangis di sudut kosanya.
           
“Lho, kenapa terburu buru? Masuk libur kan masih seminggu lagi? “

     “Tidak! Kami belum mengisi KRS yang besok adalah terakhir waktunya “. Sambil menahan gejolak emosi meronta nurani, ku paksa gina untuk bangkit dan mengemas pakaian kami berdua. Aku beranjak ke kamar mandi dengan berbagai kontroversi di hati. Nampaknya ia pun melihat butiran air mata yang baru ingin keluar. Dia mendekat namun langkahnya terhenti saat pintu ku tutup dengan suara bagai gemuruh suara guntur di langit.
-***-

6
     Laju Bus Kota yang kami tumpangi melesat cepat secepat keinginanku untuk menyudahi semuanya saat ini, menembus keyakinan yang mulai rapuh, mendobrak keraguan untuk mempertahankan hubungan  yang tengah skarat. Aku tersenyum menatap ke luar jendela, namun batin ku masih terdera oleh air mata.

 Ku ulangi pertanyaan pertanyaan itu lagi bahwa mengapa aku masih saja memberi kesempatan untuk dicintai olehnya yang selalu memberikan mawar berduri padaku? Apa arti dari semua ini. Mengapa terus dan terus lagi aku merindunya, ingin tetap tinggal meski kadang aku tak tahu ia akan pergi dan tak akan kembali lagi. Sungguh siang telah menggantikan kehangatan pagi dan membuat kering serta kerontangnya hati.
     
       Akhirnya kamipun tiba di tempat tujuan. Lega tampak menjemput ku dan ingin mengantarku ke depan pintu perpisahan lalu berjumpa dengan pintu pintu yang sama esok hari. Semoga malam hari ini sedikit berbaik hati hanya untuk sekedar meminjamkan bahunya untukku. Untuk bersandar, menangis dan mencurahkan semua isi di hati. Kami berpisah di sini. Di sore hari, dimana batas pemisah antara pagi, siang dan malam. Perbatasan yang memberi jeda bagi rutinitas penentuan akan malam dan pagi. Ya, kami berpisah, tanpa ada kata berpisah. Semua berjalan begitu saja, tanpa ada pesan untuk kembali berjumpa.

      Di dalam kereta Gina masih saja menghiburku untuk menghentikan semua kepedihanku. Ia terlalu menyayangiku dan tak ingin aku semakin terlarut di alam kesedihan. Ia meyakinkan bahwa semua akan bahagia pada waktunya. Kereta semakn terpacu menuju tempt asalku.
      
      “Huh, Malang... Kampus... Rumah... Nisa dan Sisi... aku terlalu rindu kalian semua... perjalanan yang seakan berjalan lambat ini seakan membuatku ingin terbang bersama sayap yang terluka dan hampir patah ini menuju kesana. Aku ingin bercerita tentang hampa pada mereka” hiburku di dalam hati. Masih di saksikan malam yang terus menatapku dengan mata bersimbah kebencian lalu ingin segera membunuh pagi esoknya lagi. Dan aku semakin yakin pada keyakinanku akan pagi yang sebentar lagi akan terbunuh oleh malam. Akan penantian yang terbunuh oleh harapan.
-***-
7
       Dua minggu setibanya di Malang. Hari hari yang indah benar saja telah menggantikan kegalauan kemarin. Kini pagi terlahir kembali dan membawa Kak Pinu kembali padaku.

Kak pinu adalah seorang pria idaman kebanyakan wanita. Ia cool, pintar, ramah serta penuh karisma. Meski begitu, ia tidak begitu suka dekat dengan perempuan, entah mengapa aku masih bertanya tanya mengapa ia hendak memilihku untuk di jadikan kekasihnya. Hubungan kami pun sempat kandas beberapa lalu saat aku memutuskannya untuk bertemu kak samad di Jakarta.

Namun kini aku keliru, ternyata cinta sejati begitu dekat denganku. Disini, di kota yang ku cinta selama ini. Yaitu dia, Kak pinu ku tercinta. Cinta yang semula tertunda kini tumbuh seutuhnya. Tak lama kemudian kami menikah dan membina sebuah keluarga kecil di dalam rumah.

Senyum dan tawa, suka dan bahagia segalanya  adalah hadiah pemberiannya. Kini keraguanku terjawab sudah. Bahwa ketika pagi terbunuh malam di hari ini. Maka esok ia akan terlahir kembali dengan jiwa yang berbeda namun cintanya tetap sama.


-SEKIAN-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar