Dua tahun kemudian. Aku belum
sempat melanjutkan sekolah hingga tingkat SMP. Hal itu di sebabkan karena semua
sekolah menolak permintaan orang tuaku yang mendaftarkan namaku. Mereka selalu
melihat latar belakang keluargaku.
“Maaf ya pak, bu... sekolah
kami sudah penuh siswa-siswinya, mungkin sekolah lain bisa menerima anak bapak
dan ibu”. Alasan yang selalu di lontarkan oleh pihak sekolah. Aku pun tak tahu
harus bagaimana. Hanya orang tuaku yang tahu harus berbuat apa. Ayah dan ibu
tetap berjuang mencari sekolah untukku. Mereka pantang untuk menyerah. Meski
keduanya di anggap sampah, tapi motivasi mereka adalah diriku. Aset paling berharga yang mereka miliki. Itu yang membuat mereka selalu optimis dalam bekerja dan berusaha. Sedikitpun aku tak pernah, malu, marah ataupun membenci mereka. Yang hany a ku sesalkan adalah orang-orang yang tidak mau memberi kami kesempatan untuk mencoba. Oh, apakah sudah tidak ada lagi manusia yang ber prikemanusiaan lagi di bumi ini?
keduanya di anggap sampah, tapi motivasi mereka adalah diriku. Aset paling berharga yang mereka miliki. Itu yang membuat mereka selalu optimis dalam bekerja dan berusaha. Sedikitpun aku tak pernah, malu, marah ataupun membenci mereka. Yang hany a ku sesalkan adalah orang-orang yang tidak mau memberi kami kesempatan untuk mencoba. Oh, apakah sudah tidak ada lagi manusia yang ber prikemanusiaan lagi di bumi ini?
Hingga saat itu sudah
terhitung lebih dari sepuluh sekolah yang kami datangi dan semuanya menolak.
Berbagai cara pun kami lakukan untuk membujuk pihak sekolah. Ibu dengan
gigihnya merayu para guru dan kepala sekolah sampai-sampai dengan relanya ia
menjajakan tubuh kepada mereka hanya supaya aku bisa bersekolah. Mereka pun
setuju dengan tawaran ibu, tapi apa yang mereka lakukan, setelah menikmati
tubuh ibuku mereka dengan seenaknya pergi membawa tawa puas seraya mengabaikan
pinta ibuku. Bagi mereka tak ada untungnya menuruti kemauan wanita ‘jalang’
seperti ibuku yang bisanya Cuma memuaskan birahi lelaki. Mereka memanfaatkan
ibu untuk kesenangan mereka tanpa menghiraukan masa depan anaknya. Sungguh
betapa terlukanya hati ibu.
Lain ibu, lain halnya dengan
ayah. Ayah sempat membawa teman-teman premannya untuk mencari guru dan kepala
sekolah yang menjadi pelaku setelah mendengar cerita ibu. Ia pun mengancam
apabila permintaan mereka tidak di turuti, maka ia tidak segan-segan memisahkan
kepala para pelaku dari tubuh mereka masing-masing. Dengan penuh ketakutan dan
wajah memelas mereka pun menyetujuinya lalu ayah dan temanya pun pergi
meninggalkan mereka. Apa yang terjadi, selang dua hari kemudian ayah di tangkap
bersama teman-temanya oleh aparat keamanan. Mereka berhasil di laporkan oleh
pihak sekolah terkait atas aksi pemerasan terhadap guru dan kepala sekolah.
Hati ibu benar-benar hancur kala itu. Kehidupan keluarga kami pun berubah
dastis.
***
Aku dan ibu kini tinggal di
jalanan. Rumah kami di sita oleh musuh ayah. Tiap hari aku dan ibu mengamen di
jalanan, di metro mini, angkot, di warung dan toko-toko. Kemana kami pergi
tetap bersama. Saling berbagi apa yang kami miliki. Apa yang ibu makan, aku juga
memakannya meski sedikit. Kami tak pernah sedih menyesali nasib kami asalkan
bersama. Tidur di kolong jembatan, emperan toko, trotoar sampai pagi di usir
petugas tiap hari kami jalani dengan lapang dada. Di berbagai kesempatan pun
ibu selalu menyuruhku untuk beribadah. Kami mengerjakan sholat meski bukan di
mesjid ataupun musholla. Kata ibu Tuhan itu mengerti keadaan hambanya. Di
manapun kita sembahyang asalkan tempatnya bersih dan suci pasti do’a kita di
kabulkan.
“Nak, kamu jangan terburu-buru
berprasangka buruk dengan Gusti Allah ya. Meski kita di berikan hidup seperti
ini, tapi percayalah suatu saat nanti Allah akan ngasih kita nikmat yang
banyak”.
Sepertinya kebersamaan kami
tidak akan lama lagi. Tuhan rupaya memilih untuk mengambil ibu dariku.Selang
beberapa waktu dari sakitnya, ibu pun pergi meniggalkan ku saat kami bertadarus
bersama di trotoar depan mushola salah
satu stasiun ibu kota. Sampai saat ini aku masih mengingat wajah cantik berhias
senyuman tersungging dibibir munginya terbujur kaku di atas trotoar itu. Ia
jatuh terbaring di pangkuanku saat ingin membuka mukena. Saat itu kami baru
saja selesai membaca surat An-nashr.
Hatiku sembilu, batinku kacau,
pikiran tak menentu, tangispun tiada guna. Bagaimana bisa seorang remaja
tanggung sepertiku hidup sendirian tanpa ada bimbingan dari orang tua. Hidup di
jalan tak tahu arah. Menanti rezki yang jatuh dari langit entah kapan. Tapi
meski demikian aku tetap optimis dengan berbekal nasehat dari bapak dan
almarhumah ibu. Huh Bapak? Bagaimana keadaanya sekarang. Apa nantinya jika ia
tahu ibu pergi lebih dulu. Semoga saja Tuhan masih melindungi kami. Aamiin.
Hari-hari penuh duka telah
berlalu. Kini sudah 3 bulan semenjak kepergian ibu, hatiku masih pilu. Untung
saja waktu itu ada pengurus mushola tempat aku dan ibu beribadah bersama untuk
terakhir kalinya mau membantuku mengurus jenazah ibu dari memandikan,
menyolatkan, hingga menguburkanya meski ia tak tahu jelas latar belakang kami.
Pun tersadar olehku akan kuatnya rasa persaudaraan serta kepedulian antar
sesama orang islam tak pandang suku maupun kasta.
Ya sudahlah. Kini jalanku
harus terus kulalui entah kemana nanti arah kaki melangkah. Semoga saja nanti
aku dipertemukan dengan pengalaman juga orang-orang luar biasa sehingga aku
mampu belajar banyak hal yang belum sama sekali ku temui.
Dengan modal keberanian, aku
nekat mencari pekerjaan meski berganti-ganti jenisnya. Dari tukang sapu, loper
koran pedagang asongan, calo tiket bus, tukang semir sepatu dll. Hingga
akhirnya aku berkenalan dengan seorang pria yang menjadi sahabatku saat kami
tengah berjualan di terminal. Anto namanya. Kami menghabiskan waktu
bersama-sama. Ia begitu perhatian terhadapku, ia merawatku saat aku lemah dan
jatuh sakit. Ia ia pula sering membagi hasil daganganya denganku ketika melihat
hasil yang belum seberapa dariku.
“Jangan bro. Lu kan juga butuh
duit buat makan. Gua ntar masih bisa nyari lag kok..” Kataku menepis uang
pemberianya saat kami sedang istirahat makan siang di kantin terminal.
“Udah van gak apa-apa ambil
saja. Aku ngerti kesehatan kamu belum terlalu baik. Di banding kamu aku masih
kuat berjualan sampai larut malam.” Bujuknya sambil memaksaku menerima
pemberianya. Begitulah kiranya kisah persahabatan kami. Saling berbagi satu sama
lain dan semakin akrab pula. Hingga di suatu waktu kejadian naas itu pun tiba.
Mataku perlahan terbuka dari
lelapnya. Pandangan masih samar lalu perlahan jelas. Ku lihat di seputaran
tempat ku terbaring banyak botol-botol minuman berserakan. Aku tidur beralaskan
karton bekas mesin cuci dengan pakaian yang compang camping. Pandanganku mulai
meraba-raba lagi perlahan di sekeliling sampai tibanya terlihat bekas darah
mengalir di sela-sela kakiku. Aku merasa nyeri yang begitu luar biasanya dari
dalam tubuhku.
Astaga! Mengapa aku baru
tersadar saat ini. Ternyata aku adalah seorang wanita naif yang baru saja di
tiduri laki-laki yang kuanggap pelindungku. Siapa lagi kalau bukan Anto.
Ingatanku tiba-tiba melsat mundur. Semalam dia membawaku ke daerah lokalisasi dekat
stasiun di jakarta timur. Kami bermaksud menemui temanya untuk mencari kerja
tambahan. Begitulah awalnya ia mengajaku. Tapi sesampainya disana, aku di ajak
keliling melihat-lihat para wanita PSK di situ yang sibuk melayani para lelaki
hidung belang. Awalnya aku ingin bercerita tentang masa laluku, ibu dan ayah
pada anto namun urung pula akhirnya ku utarakan.
Hingga tengah malam menjelang,
aku lalu diajak mampir di salah satu warung untuk makan katanya. Sesampainya di
warung itu, yang di beli bukanlah makanan melainkan minuman beralkohol.
“Van, kamu harus coba minum
sekali-kali. Untuk mencegah kebuntuan berfikir aja sih..” ajaknya penuh makud
yang berbeda padaku.
“wah sory bro. Gua ga butuh
yang kayak beginian. Lagian ngapain coba kita minum? Ntar malah mabok dan bikin
onar kan? Haha..” Aku mencoba menolak dengan maksud tidak menyinggungnya.
“Ahh udahlah. Kita ini bukan
orang-orang pintar atau ahli agama van. Kita Cuma orang-orang kecil yang
hidupnya sudah di takdirkan Tuhan. Nikmatin aja prosesnya. Toh nanti juga Dia
bakal ngasih kita jalan yang benar kan? Yang penting mah sekarang hantam aja
dulu sob..”
Entah mengapa semakin lama aku
semakin termakan rayuannya. Aku berdebat dengan batinku sendiri. Apa yang
harusnya ku lakukan. Akhirnya ku putuskan untuk menerima ajakanya. Yah, mungkin
ini pertama dan terakhir kalinya bagiku, hitung-hitung mencoba hal baru di
samping itu pula ini saat yang tepat untuk membalas kebaikan sahabatku dengan
menyenangkan hatinya.
Namun ternyata rasa sesal kini
hadir. Aku lupa bahwa aku adalah seorang wanita nan lemah. Pikirku mungkin Anto
tidak akan terpikat dengan penampilanku yang super tomboy bagai laki-laki yang
urakan dan jorok ini sama seperti kebanyakan temanya yang lain. Yah,
begitulah
isi kepala laki-laki yang kebanyakan tidak mudah di tebak. Saat nafsunya mula
menguasai, berbagai upaya akan di lancarkan dari berpura-pura baik hingga
mngancam mangsanya untuk menuruti hasrat seksualnya.
“Oh Tuhan, kurang pedihkah
nasib hambamu ini? Berkali-kali hamba di beri ujian dari-Mu, masih lah sahaja
kiranya Engkau belum mengampuniku. Dosakah hamba yang telah lalu, ataukah ini
tanggungan dosa dari ayahdan ibu untuku? “Aku membatin dalam ke sunyian. Tak ku
temui lagi lelaki ‘keparat’ itu sesudahnya.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar