Senin, 01 Februari 2016

Trotoar (part II)



Dua tahun kemudian. Aku belum sempat melanjutkan sekolah hingga tingkat SMP. Hal itu di sebabkan karena semua sekolah menolak permintaan orang tuaku yang mendaftarkan namaku. Mereka selalu melihat latar belakang keluargaku.

“Maaf ya pak, bu... sekolah kami sudah penuh siswa-siswinya, mungkin sekolah lain bisa menerima anak bapak dan ibu”. Alasan yang selalu di lontarkan oleh pihak sekolah. Aku pun tak tahu harus bagaimana. Hanya orang tuaku yang tahu harus berbuat apa. Ayah dan ibu tetap berjuang mencari sekolah untukku. Mereka pantang untuk menyerah. Meski
keduanya di anggap sampah, tapi motivasi mereka adalah diriku. Aset paling berharga yang mereka miliki. Itu yang membuat mereka selalu optimis dalam bekerja dan berusaha. Sedikitpun aku tak pernah, malu, marah ataupun membenci mereka. Yang hany a ku sesalkan adalah orang-orang yang tidak mau memberi kami kesempatan untuk mencoba. Oh, apakah sudah tidak ada lagi manusia yang ber prikemanusiaan lagi di bumi ini?

Hingga saat itu sudah terhitung lebih dari sepuluh sekolah yang kami datangi dan semuanya menolak. Berbagai cara pun kami lakukan untuk membujuk pihak sekolah. Ibu dengan gigihnya merayu para guru dan kepala sekolah sampai-sampai dengan relanya ia menjajakan tubuh kepada mereka hanya supaya aku bisa bersekolah. Mereka pun setuju dengan tawaran ibu, tapi apa yang mereka lakukan, setelah menikmati tubuh ibuku mereka dengan seenaknya pergi membawa tawa puas seraya mengabaikan pinta ibuku. Bagi mereka tak ada untungnya menuruti kemauan wanita ‘jalang’ seperti ibuku yang bisanya Cuma memuaskan birahi lelaki. Mereka memanfaatkan ibu untuk kesenangan mereka tanpa menghiraukan masa depan anaknya. Sungguh betapa terlukanya hati ibu.

Lain ibu, lain halnya dengan ayah. Ayah sempat membawa teman-teman premannya untuk mencari guru dan kepala sekolah yang menjadi pelaku setelah mendengar cerita ibu. Ia pun mengancam apabila permintaan mereka tidak di turuti, maka ia tidak segan-segan memisahkan kepala para pelaku dari tubuh mereka masing-masing. Dengan penuh ketakutan dan wajah memelas mereka pun menyetujuinya lalu ayah dan temanya pun pergi meninggalkan mereka. Apa yang terjadi, selang dua hari kemudian ayah di tangkap bersama teman-temanya oleh aparat keamanan. Mereka berhasil di laporkan oleh pihak sekolah terkait atas aksi pemerasan terhadap guru dan kepala sekolah. Hati ibu benar-benar hancur kala itu. Kehidupan keluarga kami pun berubah dastis.

***

Aku dan ibu kini tinggal di jalanan. Rumah kami di sita oleh musuh ayah. Tiap hari aku dan ibu mengamen di jalanan, di metro mini, angkot, di warung dan toko-toko. Kemana kami pergi tetap bersama. Saling berbagi apa yang kami miliki. Apa yang ibu makan, aku juga memakannya meski sedikit. Kami tak pernah sedih menyesali nasib kami asalkan bersama. Tidur di kolong jembatan, emperan toko, trotoar sampai pagi di usir petugas tiap hari kami jalani dengan lapang dada. Di berbagai kesempatan pun ibu selalu menyuruhku untuk beribadah. Kami mengerjakan sholat meski bukan di mesjid ataupun musholla. Kata ibu Tuhan itu mengerti keadaan hambanya. Di manapun kita sembahyang asalkan tempatnya bersih dan suci pasti do’a kita di kabulkan.

“Nak, kamu jangan terburu-buru berprasangka buruk dengan Gusti Allah ya. Meski kita di berikan hidup seperti ini, tapi percayalah suatu saat nanti Allah akan ngasih kita nikmat yang banyak”.

Sepertinya kebersamaan kami tidak akan lama lagi. Tuhan rupaya memilih untuk mengambil ibu dariku.Selang beberapa waktu dari sakitnya, ibu pun pergi meniggalkan ku saat kami bertadarus bersama di  trotoar depan mushola salah satu stasiun ibu kota. Sampai saat ini aku masih mengingat wajah cantik berhias senyuman tersungging dibibir munginya terbujur kaku di atas trotoar itu. Ia jatuh terbaring di pangkuanku saat ingin membuka mukena. Saat itu kami baru saja selesai membaca surat An-nashr.

Hatiku sembilu, batinku kacau, pikiran tak menentu, tangispun tiada guna. Bagaimana bisa seorang remaja tanggung sepertiku hidup sendirian tanpa ada bimbingan dari orang tua. Hidup di jalan tak tahu arah. Menanti rezki yang jatuh dari langit entah kapan. Tapi meski demikian aku tetap optimis dengan berbekal nasehat dari bapak dan almarhumah ibu. Huh Bapak? Bagaimana keadaanya sekarang. Apa nantinya jika ia tahu ibu pergi lebih dulu. Semoga saja Tuhan masih melindungi kami. Aamiin.

Hari-hari penuh duka telah berlalu. Kini sudah 3 bulan semenjak kepergian ibu, hatiku masih pilu. Untung saja waktu itu ada pengurus mushola tempat aku dan ibu beribadah bersama untuk terakhir kalinya mau membantuku mengurus jenazah ibu dari memandikan, menyolatkan, hingga menguburkanya meski ia tak tahu jelas latar belakang kami. Pun tersadar olehku akan kuatnya rasa persaudaraan serta kepedulian antar sesama orang islam tak pandang suku maupun kasta.

Ya sudahlah. Kini jalanku harus terus kulalui entah kemana nanti arah kaki melangkah. Semoga saja nanti aku dipertemukan dengan pengalaman juga orang-orang luar biasa sehingga aku mampu belajar banyak hal yang belum sama sekali ku temui.

Dengan modal keberanian, aku nekat mencari pekerjaan meski berganti-ganti jenisnya. Dari tukang sapu, loper koran pedagang asongan, calo tiket bus, tukang semir sepatu dll. Hingga akhirnya aku berkenalan dengan seorang pria yang menjadi sahabatku saat kami tengah berjualan di terminal. Anto namanya. Kami menghabiskan waktu bersama-sama. Ia begitu perhatian terhadapku, ia merawatku saat aku lemah dan jatuh sakit. Ia ia pula sering membagi hasil daganganya denganku ketika melihat hasil yang belum seberapa dariku.

“Jangan bro. Lu kan juga butuh duit buat makan. Gua ntar masih bisa nyari lag kok..” Kataku menepis uang pemberianya saat kami sedang istirahat makan siang di kantin terminal.

“Udah van gak apa-apa ambil saja. Aku ngerti kesehatan kamu belum terlalu baik. Di banding kamu aku masih kuat berjualan sampai larut malam.” Bujuknya sambil memaksaku menerima pemberianya. Begitulah kiranya kisah persahabatan kami. Saling berbagi satu sama lain dan semakin akrab pula. Hingga di suatu waktu kejadian naas itu pun tiba.

Mataku perlahan terbuka dari lelapnya. Pandangan masih samar lalu perlahan jelas. Ku lihat di seputaran tempat ku terbaring banyak botol-botol minuman berserakan. Aku tidur beralaskan karton bekas mesin cuci dengan pakaian yang compang camping. Pandanganku mulai meraba-raba lagi perlahan di sekeliling sampai tibanya terlihat bekas darah mengalir di sela-sela kakiku. Aku merasa nyeri yang begitu luar biasanya dari dalam tubuhku.

Astaga! Mengapa aku baru tersadar saat ini. Ternyata aku adalah seorang wanita naif yang baru saja di tiduri laki-laki yang kuanggap pelindungku. Siapa lagi kalau bukan Anto. Ingatanku tiba-tiba melsat mundur. Semalam dia membawaku ke daerah lokalisasi dekat stasiun di jakarta timur. Kami bermaksud menemui temanya untuk mencari kerja tambahan. Begitulah awalnya ia mengajaku. Tapi sesampainya disana, aku di ajak keliling melihat-lihat para wanita PSK di situ yang sibuk melayani para lelaki hidung belang. Awalnya aku ingin bercerita tentang masa laluku, ibu dan ayah pada anto namun urung pula akhirnya ku utarakan.

Hingga tengah malam menjelang, aku lalu diajak mampir di salah satu warung untuk makan katanya. Sesampainya di warung itu, yang di beli bukanlah makanan melainkan minuman beralkohol.

“Van, kamu harus coba minum sekali-kali. Untuk mencegah kebuntuan berfikir aja sih..” ajaknya penuh makud yang berbeda padaku.

“wah sory bro. Gua ga butuh yang kayak beginian. Lagian ngapain coba kita minum? Ntar malah mabok dan bikin onar kan? Haha..” Aku mencoba menolak dengan maksud tidak menyinggungnya.

“Ahh udahlah. Kita ini bukan orang-orang pintar atau ahli agama van. Kita Cuma orang-orang kecil yang hidupnya sudah di takdirkan Tuhan. Nikmatin aja prosesnya. Toh nanti juga Dia bakal ngasih kita jalan yang benar kan? Yang penting mah sekarang hantam aja dulu sob..”

Entah mengapa semakin lama aku semakin termakan rayuannya. Aku berdebat dengan batinku sendiri. Apa yang harusnya ku lakukan. Akhirnya ku putuskan untuk menerima ajakanya. Yah, mungkin ini pertama dan terakhir kalinya bagiku, hitung-hitung mencoba hal baru di samping itu pula ini saat yang tepat untuk membalas kebaikan sahabatku dengan menyenangkan hatinya.

Namun ternyata rasa sesal kini hadir. Aku lupa bahwa aku adalah seorang wanita nan lemah. Pikirku mungkin Anto tidak akan terpikat dengan penampilanku yang super tomboy bagai laki-laki yang urakan dan jorok ini sama seperti kebanyakan temanya yang lain. Yah,
begitulah isi kepala laki-laki yang kebanyakan tidak mudah di tebak. Saat nafsunya mula menguasai, berbagai upaya akan di lancarkan dari berpura-pura baik hingga mngancam mangsanya untuk menuruti hasrat seksualnya.

“Oh Tuhan, kurang pedihkah nasib hambamu ini? Berkali-kali hamba di beri ujian dari-Mu, masih lah sahaja kiranya Engkau belum mengampuniku. Dosakah hamba yang telah lalu, ataukah ini tanggungan dosa dari ayahdan ibu untuku? “Aku membatin dalam ke sunyian. Tak ku temui lagi lelaki ‘keparat’ itu sesudahnya.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar