Biarlah aku di caci dunia. Biarlah aku di pandang sebelah
mata. Toh masih adalah mulut ini yang
menghiburku. Masih ada tangan yang menemani dan kaki sebagai penuntun. Bagi
anak sepertiku yang sehari-hari berkeliaran membawa ukulele naik turun angkutan umum, masuk keluar warung dan toko-toko
untuk mencari sedikit harapan untuk hidup ini sudah biasa jika di rendahkan
oleh kebanyakan orang. Tapi itu tentu bukan persoalan berarti. Bagiku hidup itu
tidak ada bedanya dengan omong kosong. Setiap hari di tengah keramaian, aku
berjumpa dengan orang-orang yang katanya hebat, pintar, bahkan ada di antara
mereka punya kedudukan. Namun di mata ku mereka sama denganku. Para pengemis.
Cuma bedanya mereka mengemis ilmu, harta,
jabatan dan pujian dari sesama mereka. Untuk apa? Tentu saja untuk di
ceritakan kepada anak cucu mereka lah. Bangga? Oh sudah pasti.
Setiap subuh sehabis
sholat, ayah ibu dan aku selalu tadarus Al-Qur’an sebelum mengawali
aktifitas. Subuh ini di tengah nasehatnya Ayah berkata bahwa Tuhan itu Maha
Baik. Dia selalu memberi apa yang hambanya minta tanpa menunjukkan diri-Nya. Ia
selalu mengasihani hamba yang mencintainya maupun yang tidak meski tak pernah
berjumpa. Dia memberi ujian, lalu memberi hadiah. Tidak seperti manusia,
sombong juga angkuh pada sesama. Berbuat baik hanya untuk kepentinganya, selalu
menepuk dada, dan hanya ingin membantu orang-orang yang menguntungkan mereka.
“Sayang, orang-orang di luar sana banyak yang tidak
mengerti”. Ucap ayah sembari meletakkan Kitab Suci ummat Islam itu di dalam
lemari. Tanpa berdiskusi, kami pun menyudahi ibadah sambil bersiap untuk keluar
rumah mencari kesibukan di luar.
Pagi yang cerah. Kami bertiga segera memulai aktifitas
masing-masing. Kalau pagi ibu bekerja di salon hingga sore hari. Malamya ia ‘mangkal’ di pinggir
jalan sebagai seorang wanita penghibur sampai jam 3 pagi lalu kembali ke rumah.
Ia hanya tidur 2 jam. Sedang ayah kerja bersama preman terminal menagih uang
pangkal, juga menjaga keamanan di wilayahnya sampai siang. Di rumah, siang hari
ayah yang biasanya memasak untuk kami berdua karena ia yang pulang lebih dulu sedang
ibu pulang dini hari. Saat itu aku masih belum mengerti tentang pekerjaan orang
tuaku.Bagiku mereka adalah orang tua idaman sepanjang hidupku. Aku tak peduli
profesi mereka, bagiku meski kami miskin harta tapi kami tetap saling
menyayangi, menghargai, saling mendukung dan bertanggung jawab terhadap
keluarga. Ketika ada masalah, ayah langsung turun tangan menyelesaikan. Sedang
ibu tugasnya menenangkan aku serta mengajariku bagaimana menghadapi kerasnya
hidup. Dan semua itu adalah lebih dari cukup untukku terserah apa kata orang.
Pengumuman kelulusan Sekolah Dasar akhirnya pun tiba. Dan
waktu itu, Ibu datang mengambil rapotku. Aku benci dengan semua orang yang ada.
Bukan karena anak mereka lebih pintar dariku, tapi semua orang tua dan guru
memberi tatapan yang berbeda pada ibu. Ada yang sinis, ada yang seolah jijik,
bahkan ada beberapa yang bertatapan nafsu ke arah ibu. Apa yang orang-orang ini
sedang pikirkan? jelas itu tidak seharusnya di pikirkan. Ibu ku sama seperti
orang tua lain, punya anak yang baru saja lulus dari SD, bukanlah selebriti
haus sensasi, ataupun koruptor borjuasi.
“haha, lihat si jalang itu datang kemari. Anaknya ga malu
apa punya ibu pelacur kayak dia?” cetus salah satu ibu siswa.
“iya jeung, ibunya pelacur, bapaknya preman terminal,
anaknya di biarkan mengamen. Itu keluarga apa yang jeung?” sambung ibu-ibu yang
lain. Sedang pembicaraan para bapak-bapak berbeda.
“Wow, itu body mamanya ivan boleh juga ya pak. Berapa yang
harus saya bayar kalau mau tidur dengan dia ya?” tanya seorang bapak di tengah
kerumunan para lelaki tua nan ganjen.
“kita culik saja lalu pakai rame-rame..” kata lelaki lainnya
memberi ide. Setelah itu mereka lalu bubar dengan senyum puas.
Aku sengaja menguping di belakang mereka untuk mendengar apa
yang mereka bicaraka. Untung saja mereka tidak menyadari keberadaanku di
samping. Meski kelihatan bercanda, obrolan para lelaki itu sangat menyiksa
telinga hingga hati. Dari para wanita-wanita tua tadi juga seolah menarik
tangan untuk langsung melabrak wajah mereka satu per satu di depan
anak-anaknya.
“Kurang ajar kalian! Apa salah ibuku? Dia orang tua sama
seperti kalian, punya tanggung jawab terhadap keluarganya. Mungkin ia tak seberungtung
kalian yang hidupnya sempurna tanpa ada masalah. Dia memilih pekerjaan ini juga
karena di paksa oleh keadaan. Bukan karena ia menyukainya. Dia ibuku Paham? Menjadi
pengamen itu pun kemauanku dan bukan karena di suruh mereka, bahkan aku bisa
babak belur jika mereka tahu aku lebih sering ngamen dari pada belajar.” Aku
membatin menahan perih di hati. Ungkapan itu hanya bergema dalam diriku. Aku
tak punya kuasa apapun untuk menghardik mereka. Semua orang berhak berpendapat.
Tapi tetap saja aku hanya bisa menanggung semuanya. Aku pun tahu jika ibu dan
ayah juga merasa gelisah. Namun mau bagaimana lagi, inilah jalan kami yang
harus kami lewati hingga usai nanti.
“kamu jangan bersedih ya ndu, ibu sama bapak mu ini kerja
buat kamu juga. Kasihanilah kami ya nak. Maafkan kami karena tidak bisa memberi
kebahagiaan serta kebanggaan buatmu. Kami hanya bisa memberi sedikit harapan,
semoga suatu saat hidupmu jauh lebih baik dari kami. Makanya bapak itu keras ke
kamu supaya kamu sekolah yang bener dan rajin belajarnya.” Pesan ibu di iringi
derai air mata mengalir membasahi raut keriput yang di tutupi make up nya.
“sudahlah bu, meski saat ini tanganku belum mampu
sampai ke wajahmu untuk menghapus air mata itu, namun pasti besok ketika
waktuku sampai maka kalian akan ku tinggikan derajatnya.” Aku kembali membatin
dalam hati sambil memegang erat jemari ibu kala menuntunku pulang. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar