Rabu, 20 Januari 2016

Trotoar (part I)

Biarlah aku di caci dunia. Biarlah aku di pandang sebelah mata. Toh masih adalah mulut  ini yang menghiburku. Masih ada tangan yang menemani dan kaki sebagai penuntun. Bagi anak sepertiku yang sehari-hari berkeliaran membawa ukulele naik turun angkutan umum, masuk keluar warung dan toko-toko untuk mencari sedikit harapan untuk hidup ini sudah biasa jika di rendahkan oleh kebanyakan orang. Tapi itu tentu bukan persoalan berarti. Bagiku hidup itu tidak ada bedanya dengan omong kosong. Setiap hari di tengah keramaian, aku berjumpa dengan orang-orang yang katanya hebat, pintar, bahkan ada di antara mereka punya kedudukan. Namun di mata ku mereka sama denganku. Para pengemis. Cuma bedanya mereka mengemis ilmu, harta,  jabatan dan pujian dari sesama mereka. Untuk apa? Tentu saja untuk di ceritakan kepada anak cucu mereka lah. Bangga? Oh sudah pasti.
Orang biasa memanggilku Ivan. Tubuh kurus, kulit cokelat, dan berambut ikal. Sejak SD aku tak punya banyak teman dan kesenangan. Keluargaku di anggap sampah masyarakat. Oleh karena ibuku seorang PSK dan ayahku preman terminal. Meski demikian aku di besarkan dengan penuh kedisiplinan. Orang tuaku memaksaku untuk sekolah tak hirau apa kendala dan masalahnya, aku hanya harus belajar dan jadi anak yang pintar. Dan yang lebih mengherankan adalah meski pekerjaan orang tuaku di anggap tidak terpuji, tapi mereka tetap melaksanakanibadah sholat, ngaji dan puasa. Ibadah yang mereka lakukan secara diam-dam tidak di ketahui oleh orang banyak.
Setiap subuh sehabis  sholat, ayah ibu dan aku selalu tadarus Al-Qur’an sebelum mengawali aktifitas. Subuh ini di tengah nasehatnya Ayah berkata bahwa Tuhan itu Maha Baik. Dia selalu memberi apa yang hambanya minta tanpa menunjukkan diri-Nya. Ia selalu mengasihani hamba yang mencintainya maupun yang tidak meski tak pernah berjumpa. Dia memberi ujian, lalu memberi hadiah. Tidak seperti manusia, sombong juga angkuh pada sesama. Berbuat baik hanya untuk kepentinganya, selalu menepuk dada, dan hanya ingin membantu orang-orang yang menguntungkan mereka.
“Sayang, orang-orang di luar sana banyak yang tidak mengerti”. Ucap ayah sembari meletakkan Kitab Suci ummat Islam itu di dalam lemari. Tanpa berdiskusi, kami pun menyudahi ibadah sambil bersiap untuk keluar rumah mencari kesibukan di luar.
Pagi yang cerah. Kami bertiga segera memulai aktifitas masing-masing. Kalau pagi ibu bekerja di salon hingga  sore hari. Malamya ia ‘mangkal’ di pinggir jalan sebagai seorang wanita penghibur sampai jam 3 pagi lalu kembali ke rumah. Ia hanya tidur 2 jam. Sedang ayah kerja bersama preman terminal menagih uang pangkal, juga menjaga keamanan di wilayahnya sampai siang. Di rumah, siang hari ayah yang biasanya memasak untuk kami berdua karena ia yang pulang lebih dulu sedang ibu pulang dini hari. Saat itu aku masih belum mengerti tentang pekerjaan orang tuaku.Bagiku mereka adalah orang tua idaman sepanjang hidupku. Aku tak peduli profesi mereka, bagiku meski kami miskin harta tapi kami tetap saling menyayangi, menghargai, saling mendukung dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Ketika ada masalah, ayah langsung turun tangan menyelesaikan. Sedang ibu tugasnya menenangkan aku serta mengajariku bagaimana menghadapi kerasnya hidup. Dan semua itu adalah lebih dari cukup untukku terserah apa kata orang.
Pengumuman kelulusan Sekolah Dasar akhirnya pun tiba. Dan waktu itu, Ibu datang mengambil rapotku. Aku benci dengan semua orang yang ada. Bukan karena anak mereka lebih pintar dariku, tapi semua orang tua dan guru memberi tatapan yang berbeda pada ibu. Ada yang sinis, ada yang seolah jijik, bahkan ada beberapa yang bertatapan nafsu ke arah ibu. Apa yang orang-orang ini sedang pikirkan? jelas itu tidak seharusnya di pikirkan. Ibu ku sama seperti orang tua lain, punya anak yang baru saja lulus dari SD, bukanlah selebriti haus sensasi, ataupun koruptor borjuasi.
“haha, lihat si jalang itu datang kemari. Anaknya ga malu apa punya ibu pelacur kayak dia?” cetus salah satu ibu siswa.
“iya jeung, ibunya pelacur, bapaknya preman terminal, anaknya di biarkan mengamen. Itu keluarga apa yang jeung?” sambung ibu-ibu yang lain. Sedang pembicaraan para bapak-bapak berbeda.
“Wow, itu body mamanya ivan boleh juga ya pak. Berapa yang harus saya bayar kalau mau tidur dengan dia ya?” tanya seorang bapak di tengah kerumunan para lelaki tua nan ganjen.
“kita culik saja lalu pakai rame-rame..” kata lelaki lainnya memberi ide. Setelah itu mereka lalu bubar dengan senyum puas.
Aku sengaja menguping di belakang mereka untuk mendengar apa yang mereka bicaraka. Untung saja mereka tidak menyadari keberadaanku di samping. Meski kelihatan bercanda, obrolan para lelaki itu sangat menyiksa telinga hingga hati. Dari para wanita-wanita tua tadi juga seolah menarik tangan untuk langsung melabrak wajah mereka satu per satu di depan anak-anaknya.
“Kurang ajar kalian! Apa salah ibuku? Dia orang tua sama seperti kalian, punya tanggung jawab terhadap keluarganya. Mungkin ia tak seberungtung kalian yang hidupnya sempurna tanpa ada masalah. Dia memilih pekerjaan ini juga karena di paksa oleh keadaan. Bukan karena ia menyukainya. Dia ibuku Paham? Menjadi pengamen itu pun kemauanku dan bukan karena di suruh mereka, bahkan aku bisa babak belur jika mereka tahu aku lebih sering ngamen dari pada belajar.” Aku membatin menahan perih di hati. Ungkapan itu hanya bergema dalam diriku. Aku tak punya kuasa apapun untuk menghardik mereka. Semua orang berhak berpendapat. Tapi tetap saja aku hanya bisa menanggung semuanya. Aku pun tahu jika ibu dan ayah juga merasa gelisah. Namun mau bagaimana lagi, inilah jalan kami yang harus kami lewati hingga usai nanti.
“kamu jangan bersedih ya ndu, ibu sama bapak mu ini kerja buat kamu juga. Kasihanilah kami ya nak. Maafkan kami karena tidak bisa memberi kebahagiaan serta kebanggaan buatmu. Kami hanya bisa memberi sedikit harapan, semoga suatu saat hidupmu jauh lebih baik dari kami. Makanya bapak itu keras ke kamu supaya kamu sekolah yang bener dan rajin belajarnya.” Pesan ibu di iringi derai air mata mengalir membasahi raut keriput yang di tutupi make up nya.
“sudahlah bu, meski saat ini tanganku belum mampu sampai ke wajahmu untuk menghapus air mata itu, namun pasti besok ketika waktuku sampai maka kalian akan ku tinggikan derajatnya.” Aku kembali membatin dalam hati sambil memegang erat jemari ibu kala menuntunku pulang. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar